Antara Aku, Mas
Aan, dan Mas Gagah
Tak
ada hal yang iriable di dunia ini
selain merasa dibandingkan. Dengan saudara sendiri pula. Yeah, siapa lagi kalau
bukan dengan Mas Aan, kakakku semata wayang yang nyatanya nggak mirip wayang sedikitpun!
“Kakakmu
memang solih, lembut, sabar, bla bla bla.” Berlebihan deh!
Dari
segi fisik, kami memang mirip satu sama lain. Aku mewarisi kolaborasi garis
wajah mami dan papa, sedang Mas Aan menjiplak wajah papa saat muda. Postur
tubuh kami sama. Sama-sama bongsor.
Nah,
masalahnya dari segi watak, aku dan kakakku seumpama bumi dan langit. Seperti
warna hitam dan putih. Jika Mas Aan ngomong, pasti aku selalu pasang telinga
baik-baik. Tutur katanya yang lembut bak putri keraton itu, selalu kuprotes.
“Ih,
kerasan dikit dong mas ngomongnya! Nggak denger nih!”
Suara
Mas Aan kalah keras dengan suara host acara infotainment yang tengah kutonton.
Mas Aan mengambil remote dan mengecilkan volume TV. Senyumnya yang dihias
lesung pipit membuatku iri. Lesung pipit buat cowok itu sangat sangat mubadzir.
“Cinta,
temenin mas kajian yuk. Di sana banyak teman-teman mas lho.”
“Cakep-cakep
kan? Mau dong dikenalin?” tukasku antusias, lalu semangatku mendadak luruh
begitu menyadari kostum aneh yang dipakainya. Baju koko, celana kain se-mata
kaki, dan kopyah putih. Rupanya ia telah memensiunkan dini kaos dan jeans-nya. Ugh! Ia tampak seperti
bapak-bapak. Lebih gaul en funky-an
papa malah.
“Meski
pake jilbab juga kan?” dengusku sembari meniup poniku yang udah gondrong hampir
menutup mata. Tak sedikipun menaruh minat.
“Iya,
dong, sayang. Biar aura salihahnya keluar,” candanya. Mas Aan jarang banget
memanggil namaku yang cuma tiga huruf itu. Ira. Ia memang so sweet, tapi kelamaan aneh juga dipanggil ‘cinta, sayang, manis’,
dan kata-kata penuh gula lainnya.
Aku
menggeleng. Kemarin-kemarin aku masih mau ngikut Mas Aan ke kampusnya, ke toko
buku, jalan-jalan, karaokean. Kupikir kami punya kesamaan hobi dan passion. Belakangan aku tahu, kakakku
telah berubah. Aku baru ‘ngeh’ atas perubahannya sejak ia kuliah di Jogja.
Kira-kira semester awal saat gabung dengan rohis kampus dan jadi aktivis. Ia
yang dari sononya udah anteng bin alim, sekarang makin kayak anak pesantren.
Santun, adem, dan ogah gaul kayak dulu.
Akhir-akhir
ini kamarnya di-make over sedemikian
rupa. Poster pemain bola dilepas, catnya diperbarui. Kitab dan buku-buku islami
tersusun rapi di rak. Kalau dulu suara radio memenuhi kamar, kini berganti
suara empuk Raihan, Seismic dan Opic. Kadang aku iseng kepikiran untuk
mengganti lantunan murottal dengan lagu metal. Biar seru!
“Ngapain
di depan pintu kamar mamas, adek manis? Mau masuk ya?”
Aku
yang masih mengenakan seragam putih abu-abu, langsung nyelonong masuk setelah
mengucap pasword ‘Assalamu’alaikum’. Melihatku menekuk wajah, ia langsung
respon.
“Kenapa
cemberut? Cerita dong, cantik,” ucapnya sambil men-shut down laptop.
“Sebel.
Masa Dian ketahuan jalan bareng Lala. Hajar aja si Dian, Mas. Mas kan jago
karate!” aduku berapi-api. Napasku naik
turun menahan emosi yang menggelegak.
“Salihah,
Mas kan udah bilang kalau pacaran itu taqrobuzina.
Mendekati zina lo. Jadi, kalau ada yang patah hati gini, Mas nggak mau ikutan
nanggung ahh,” candanya.
Aku
diam. Aku tahu, mas Aan nggak marah atau
mendakwahiku dengna gegabah. Tapi, aku butuh solusi. Ck! rupanya aku curhat
dengan orang yang salah.
“Udah putusin aja deh, lalu move on secepatnya. Hehe. Niat dulu,
ntar Mas ajarin caranya.” Mas Aan mengedipkan mata. Kalau dipikir sih,
kata-katanya ada benarnya. Tapi mutusin Dian? Tunggu dulu. Usiaku baru 17 dan
lagi happy-happy-nya menikmati masa
muda. Punya pacar adalah kebanggan dari status jomblo yang sebelumnya
kusandang. Lagian, aku dan Dian pacarannya nggak ngapa-ngapain kok. Jalan
bareng doang sepulang sekolah. Seperti yang dilakukannya pulang sekolah tadi dengan…
Lala. Ups! Sorry. Oh ya, kami juga nggak pernah nonton bareng atau malam
mingguan. Tapi Dian pernah bilang kalau aku manis, postur tubuhku tinggi dan
ideal. Menarik lah. Aku bergidik saat menyadari tatapan mata Dian yang gimanaa
gitu. Hiii…
Sebenanrya
aku pernah dengar pengakuan Sindy--sohibku yang aktivis rohis itu—kalau setelah
pakai jilbab, ia merasa lebih safe. At least, meredam pandangan kaum cowok untuk
melihat keindahan tubuh cewek. Secara pribadi, Sindy mengaku lebih adem, lebih
nyaman, dan lebih merasa malu untuk melakukan hal yang melanggar syari’at. Semisal
yaa, pacaran. Masa jilbaber rapi berduaan
sama non mahram? Kalaupun ada, kasihan sebenarnya. Bisa jadi pemahamannya
tentang Islam belum kaffah. Hmm, aku ingat bahwa kalimat itu terlahir dari
lisan Mas Aan.
Sindy
sama Mas Aan sama-sama aktivis rohis. Sama-sama alim, menjaga pandangan,
anteng, dan ibadahnya kenceng. Apa dijodohin aja ya mereka berdua? Kan asyik
banget tuh, punya adek ipar sohib sendiri. Eh, ngaco! Sindy dan aku kan masih
SMA. Mau UAN pula. Masa ya malah kuprovokasi untuk married-oriented. Hahaha.
“An,
makasih lo jilbab buat mami. Keren ini.” Mami melongok ke kamar mas Aan dengan
penampilan barunya yang beda. Tunik nge-pink dan celana panjang dipadu dengan
jilbab yang dililitkan leher.
“Mi,
pakai jilbabnya dijulurkan lho ya.”
Tapi
mami keburu arisan jadi tidak mendengar. Aku ketawa geli sebab leher mami jadi
seperti tercekik. Mas Aan hanya menyikapinya dengan garuk-garuk kepala.
*
Sekarang
aku bukan lagi anak ABG berseragam putih abu-abu nan unyu-unyu, yang pulang
sekolah langsung nongkrong di kamar Mas Aan. Tak peduli saat kamarnya kosong
karena ia ngekos di Jogja dan jarang pulang. Dulu, sering aku iseng bereksplorasi
dengan membaca-baca buku islami koleksi kakakku, mengaduk-aduk laci dan lemari,
siapa tahu menemukan foto cewek atau sepucuk surat cinta. Ah, sia-sia. Ternyata
mas Aan benar-benar ikhwan solih yang selalu menjaga diri dan fokus untuk masa
depan.
Sudah
sebulan ini aku ngekos dan selalu kangen dengan orang rumah: mami, papa, dan Mas
Aan. Jarak Cilacap-Semarang yang memakan 7 jam perjalanan, membuatku tak bisa
sering-sering pulang. Ngirit ongkos juga. Di semester 7 kuliahnya ini, Mas Aan
makin sibuk. Teleponku jarang diangkat, smsku jarang dibalas. Beberapa hari ini
ia absen mengirimiku sms–sms tausiyah, yang sebelumnya selalu kusimpan dan tak
kuhapus. Kupikir Mas Aan ngambek karena gagal membujukku untuk pakai jilbab
saat ke kampus dan mutusin Dian. Jujur, aku sempat kesal dengan Mas Aan. Secara
dia tahu bahwa aku belum siap melakukan keduanya. Itu berat banget. Sebab aku
dan Dian kuliah di kota yang sama. Cuma beda kampus. Keberadaan Dian kuanggap
sebgai pengganti Mas Aan, meski dengan kapasitas dan kedekatan emosional yang
berbeda.
Satu
lagi yang membuatku dilematis. Pekerjaan part-time-ku
sebagai penyanyi yang sesekali manggung di kafe, nyaris tak memberiku
kesempatan untuk menutup aurat dengan sempurna. Aku bahkan harus tampil modis
dan ber-make up ria untuk menunjang profesi yang juga passionku sejak dulu. Mungkin karena hobi, passion, dan bakat
berkolaborasi menjadi satu, ketekunanku pada dunia tarik suara membuahkan hasil
yang memuaskan. Aku masuk nominasi 3 besar best
singer se-universitas. Dan pada acara penganugerahan, aku terpaksa
mengenakan gaun yang agak terbuka di bagian atas, sesuai pengarahan sang EO.
Hanya
mami, papa, dan Dian yang datang pada acara penting itu. Sedang Mas Aan tidak
bisa karena kesibukannya di kampus menjelang skripsi. Ya, kakakku memang tak mendukung karirku ini, jadi pasti ia punya
seribu satu alasan, batinku kecewa.
Assalamualaikum.
Adek manis, maafkan mas nggak bisa datang ke kampus. Sebenarnya mas udah niat
mau ke sana tetapi ada urusan penting dan mendadak.
Sms
dari Mas Aan. Kubalas singkat. Wass. Iya, gak papa Mas.
Kakakku
yang so sweet, sederhana, full perhatian, tukang ngalah, dan
humoris. Tegakah hanya gara-gara ini aku marah padanya. Mas Aan yang bahkan
berusaha keras agar aku bisa tersenyum tiap saat. Dan mendadak aku merutuki
diri kenapa aku terlahir berbeda dengan kakakku. Padahal kami menghuni rahim
yang sama. Mendapat curahan kasih sayang yang sama. Apakah karena aku si bungsu
yang haus perhatian dan ingin dimanja? Sedang orangtua dan kakakku seolah mempunyai
ekspektasi yang tinggi terhadapku. Mungkinkah suatu hari nanti aku bisa menjadi
gadis salihah?
Pertanyaan
demi pertanyaan berkelindan di benak dan tak kunjung terjawab. Aku sengaja
membiarkan waktu mengalir dengan harapan agar pertanyaan-pertanyaan itu
mengabur dan hilang tak berbekas. Nyatanya sampai aku hampir lulus kuliah ini,
aku memang tak mencari tahu dan tak berusaha menjemput hidayah.
Lantas,
kala aku berada di titik jenuh kehidupanku, aku melarikan diri dari penatnya
keseharian. Refreshing, berkumpul
dengan teman-teman rohis, menghadiri majelis ilmu, dan mendalami Al qur’an. Benar,
Itu semua adalah obat hati paling mujarab. Entah dorongan apa yang membuatku mantap
untuk memutuskan Dian sepihak dengan alasan yang aku sendiri tak mengerti. Sudah
pasti Dian kecewa dan tak terima. Hubunganku dengannya sudah berjalan sekitar 4
tahun. Terhitung sejak lulus SMA hingga kini. Dan aku mendadak lelah harus
terkungkung dalam komitmen semu pacaran. Toh, bisa jadi Dian yang
kupertahanklan ini, belum tentu jodohku.
Tidak ada namanya pacaran islami atau
pacaran sehat. Yang ada, panah cupid syaitan akan gencar melesatkan godaan.
Jaga diri baik-baik ya, salihah.
Sms
kakakku 2 tahun lalu dan baru sekarang sukses membuatku menitikkan air mata
sesal. Lalu, hari-hari selanjutnya aku seperti dituntun oleh invisible hand yang membuatku memutuskan
untuk berhenti di tengah karir gemilangku sebagai calon penyanyi professional.
Banyak pihak yang menyayangkan keputusan gegabahku, mengingat banyak orang yang
mati-matian untuk bisa menjadi idola sepertiku. Mereka rela melakukan segala
cara demi karir dan popularitas duniawi. Dan aku yakin, keputusan itu adalah petunjuk
dari Allah Yang Maha Penyayang.
Ya
Allah, ya muqollibul quluub. Engkau
pasti mengganti dengan rizki yang lebih baik. Kutetapkan hati untuk berbaik
sangka pada-Nya.
Setelah
2 aksi nekatku itu, aku mendapat hidayah untuk berhijab. Bukan dalam rangka
mencari sensasi. Bukan untuk membahagiakan ortu, kakak, teman-teman atau
siapapun. Ini adalah bisikan nurani yang selama ini tak kuhiraukan. Setelah aku
berjilbab, tak pelak mengundang komentar-komentar miring nan merendahkan. Tapi
Alhamdulillah, lebih banyak teman-teman ynag mendukung dan menguatkan.
“Barakallah.
Semoga istiqomah ya.”
Kalimat
itu begitu melegakan. Mengingatkanku pada Cindy, sohibku SMA yang jilbaber
rapi. Mungkin kalau dia tahu bahwa aku sudah berjilbab, ia pasti surprise
banget. Apalagi Mas Aan. Yah, walaupun gaya jilbabku masih kemeja dipadu dengan
celana panjang dan jilbab yang menutup dada. Aku belum pede mengenakan gamis
seperti teman-teman akhwat yang berhijrah duluan. Merasa belum pantas. Namun
suatu hari nanti, proses kehidupan akan mendewasakan diri, akal, dan akhlakku.
Aamiin.
Titik
balik perjalanan hidupku tak lepas dari sebuah hari bersejarah itu. Hari dimana
aku kehujanan dan memilih untuk berteduh di sebuah toko buku di jalan
Pandanaran. Hujan begitu deras mengguyur Kota Atlas hingga kuputuskan untuk
membaca buku untuk membunuh bosan. Kalau aku ke sini bersama teman-temanku
dulu, aku biasa menuju rak novel remaja. Tanpa pikir panjang langsung
memasukkan beberapa novel teenlit dan chicklit ke dalam tas belanjaku. Tapi sungguh! Kali ini aku merasa
tak selera untuk menyentuh bacaan ngepop bernuansa hedon itu. Aku sedang butuh
pencerahan dan hikmah. Tanganku seolah dituntun oleh tangan tak terlihat untuk
menelusuri rak buku islam—ini mengingatkanku pada buku-buku kakakku di rumah.
Tanganku mantap mengambil buku dengan cover warna coklat. Kubaca judulnya “Ketika
Mas Gagah Pergi”. Aku merasa tak perlu membaca sinopsisnya dan langsung menuju
kasir untuk membayarnya.
Hujan
belum ada tanda-tanda akan berhenti. Langit sore menggelap. Kuputuskan untuk
shalat asar lalu membaca buku itu di bangku kecil dekat ruang shalat.
Kubuka
segelnya. Baru membaca beberapa lembar, mataku mengembun. Aku terus membaca,
hingga mataku gerimis. Kisah si tomboy Gita dan kakaknya, Mas Gagah. Gita
kecewa atas perubahan kakaknya yang semula asyik menjadi serius, lebih getol
ibadah dan dakwah. Lebih semangat bergerak menebar kebaikan dan kemanfaatan.
Karakterku adalah fotokopi tokoh Gita. Karakter Mas Gagah adalah manifestasi Mas
Aan. Aku takjub dan tak henti bertasbih memuji-Nya. Bagaimana kisah di buku ini
adalah gambaran nyata kehidupanku dengan Mas Aan? Ini bukan sebuah kebetulan.
Aku
berhenti membaca sejenak. Kuambil tissue yang terselip di dalam kantong
kemejaku. Rasanya aneh bila orang-orang melihatku tersedu gara-gara sebuah
buku. Di tempat umum pula.
Kubuka
menu galeri di hpku. Foto close up Mas Aan terpampang di layar. Aku sangat
kangen kakakku. Kangen dipanggil ‘sayang, cinta, manis’. Kangen curhat padanya.
Kangen mengobrak-abrik kamarnya. Kangen diledekin olehnya yang selalu kubalas
dengan ledekan tentang Sindy yang membuat Mas Aan melotot gemas.
Tapi
itu dulu, waktu aku masih abege. Dan waktu telah menerbangkan kenangan-kenangan
itu. Kenangan yang tersimpan manis hingga detik ini.
Kulirik
jam tanganku. Jam setengah 5 sore. Hujan masih menyisakan gerimis. Kuputuskan
untuk terus membaca kisah Mas Gagah hingga aksara pamungkas.
“Suster,
Mas Gagah akan hidup terus kan? Dokter ? Ma?”
“Mas
Gagah, sembuh ya Mas. Gita udah jadi adik yang manis,” bisikku.
Tapi
tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit.
Kian
lama kurasakan tubuh Mas Gagah semakin pucat, tapi sebentar-sebentar masih
tampak bergerak.
“Laa…
ilaaha..illa..llah…Muham…mad..Rasul.. Allah…”
Mas
Gagah telah kembali pada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi
wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama
dan papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan, Mas
Gagah…
Allah.
Air mataku tumpah. Kuharap ending
kisah itu tidak kualami saat ini. Kami semua sangat menyayangi Mas Aan. Detik
berikutnya, aku langsung menelepon kakakku untuk memastikan bahwa ia baik-baik
saja.
“Mas
sehat wal’afiat, sayang. Kenapa kok nangis?”
Aku
lega luar biasa. “Ira sayang Mas Aan. Hiks.”
*
Aku
masih merekam semua hal-hal menakjubkan tentang Mas Aan, hingga syukurku meruah
tak terkira. Kakak yang cemas berlebihan saat aku sakit. Kakak yang selalu
hadir dengan kejutan dan hadiah. Kakak yang menyerahkan seluruh gaji pertamanya
untuk orang tua. Orang kedua setelah ortu yang menangis saat aku diwisuda dan
diterima sebagai dosen muda. Orang terdekatku yang ketabahannya luar biasa.
Meski cobaan demi cobaan menggempur tanpa henti.
Masih
lekat dalam ingatan kala Mas Aan kehilangan laptop dan uang belasan juta
rupiah, yang uang itu akan ia gunakan untuk mahar calon istrinya. Lalu,
tahun-tahun awal pernikahannya, ia kembali diuji dengan PHK tanpa pesangon.
Padahal ia telah mendedikasikan dirinya selama 8 tahun pada perusahaan. Ia sampai
membatalkan dp KPR rumah. Ia yang menangis meminta doa pada orangtua sekaligus
berjuang agar tetap bisa menafkahi anak istrinya dengan cara halal.
Namun,
Allah selalu menyayangi orang baik seperti Mas Aan. Dia ganti rizki Mas Aan
dengan diterimanya menjadi PNS di ibukota. Alhamdulillah.
Dan
kini bahagiaku kian sempurna. Aku telah menjadi seorang ibu dari 2 cahaya
mataku. Aku telah berjilbab rapi dan bersuamikan seorang penghafal Al Qur-an. Semua
karena doa orangtua, kakak, dan orang-orang yang tulus menyayangiku.
“Wanita yang baik untuk lelaki yang baik, dek
manis.”
“Masa
sih, Kak?”
“Itu
janji Allah. Eh, itu buku apa sih?”
“Mau
tau aja.”
“Ketika
Mas Gagah Pergi ya?”
“Kok
tahu?”
“Nih,
Mas juga punya, kalii!”
Ah,
kakakku tersayang. Aku adalah adik yang paling beruntung di seluruh dunia. Terima
kasih, Mas Aan. Terima kasih buku kesayangan. (kisah nyata seorang sahabat)
Arinda Shafa, momwriter wannabe :D yang baru berjuang untuk terus menulis :)
dedicated to Lia, Solo : maaf ya tulisan ini nggak menang, jadi hanya bisa diterbitin di blog hiks.
Komentar