Judul : Pasukan Matahari
Penulis : Gol A Gong
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Tahun Terbit: September, 2014
Jumlah Halaman: 367 halaman
Reuni, Mimpi, dan
Janji Masa Kecil
Demi
impian yang ditunggunya selama 29 tahun, Doni bertekad untuk pulang ke kampung
halaman. Ia membawa serta istri dan kedua anaknya. Meninggalkan Jakarta.
Melepaskan pekerjaan sebagai wartawan yang membesarkan namanya. Ia ingin
kembali ke Menes, tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Di sana pula, ia tumbuh
dan berkembang bersama ketujuh sahabatnya dalam Pasukan Semut. Mereka adalah
Doni, Nurdin, wahyu, Yusuf, Nani, Fitri, Irma, dan Iroh.
Petualangan
pasukan Semut begitu berkesan. Mereka adalah anak-anak kampung yang bahagia.
Menggantungkan impian setinggi langit, hingga sebuah tragedi menimpa Doni. Doni
yang malang jatuh dari pohon. Tangan kirinya patah dan harus diamputasi. Selama
beberapa minggu ia harus dirawat di rumah sakit. Di bangsal anak, Doni
menemukan teman-teman baru yang senasib sepenanggungan dengannya. Ada Yayat
yang kakinya buntung, Ujer yang tangannya buntung sampai ketiak, dan Herman
yang tak punya jari. Mereka bersahabat dan menamakan kelompoknya, Pasukan
Matahari.
Dan sehari sebelum
kepulangan Ujer ke rumahnya, Pasukan Semut dan Pasukan Matahari berkumpul
mengelilingi sumur tua. Mereka menyerukan mimpi masing-masing, juga berjanji
akan bertemu 29 tahun lagi. Sepanjang usia’perpisahan’ itu, Doni menempa diri
untuk belajar bermain badminton dan menulis hingga mengantarkannya menjadi
penulis produktif. Pun masing-masing anak berjuang mewujudkan impiannya
masing-masing.
29 tahun
kemudian, mereka benar-benar menepati janjinya untuk mendaki anak gunung
Krakatau, bersama dengan keluarga. Reuni yang diperjuangkan Doni meski ia harus
rela kehilangan pekerjaannya. Juga membuktikan pada istrinya bahwa persahabatan
sejati itu ada. Semua sahabat Doni telah menggapai mimpi-mimpinya walaupun ada
seseorang di antara mereka yang terpuruk. Namun, dengan kesetiakawanan yang
mereka pupuk sejak kecil, mereka bahu-membahu menumbuhkan optimisme Nani akan
takdir yang menimpanya.
Kami semua melihat ke arah timur.
Pulau-pulau terbentang di antara hamparan laut biru. Langit memerah. Fajar pun
muncul menyinari kami, memberi kehangatan. Puncak anak gunung Krakatau jadi
saksi bisu perjuangan kami. Bagaimana kami bisa bersatu lagi dan mewujudkan sebelas
mimpi kami di waktu kecil.(Hal.367)
Novel ini
mempunyai kekuatan tersendiri. Setting Banten begitu detil dengan warna budaya
lokal yang kental, seolah pembaca diajak berpetualang menyusuri tiap sudutnya.
Dengan bahasa
yang lugas, penulis berhasil menyentuh sisi kemanusiaan, mengasah kepekaan
hati, dan menajamkan empati terhadap sesama. Kisah sederhana tentang
persahabatan yang tak lekang oleh zaman, dituturkan dengan apik. Memberi suntikan
motivasi dahsyat dan optimisme yang meluap, bahwa kekurangan tidak lantas
membuat seseorang terpuruk. Justru itu adalah cambuk untuk menggali potensi
yang tersembunyi. Sebab tak ada kesempurnaan di kolong langit ini. Kekuatan
kata, mimpi, doa dan usaha selalu berkorelasi positif deengan pencapaian luar
biasa dalam kehidupan ini.
Setitik
kekurangan pada novel ini hanya terletak pada karakter fisik dan watak
masing-masing tokoh yang kurang tereksplorasi sehingga kurang menghadirkan
imajinasi yang utuh terhadap tokoh-tokohnya.
Meski begitu,
novel ini adalah bacaan wajib bagi pembaca yang haus akan pencerahan, motivasi,
inspirasi, dan hikmah. Selamat membaca!
Direview oleh Arinda Shafa
*review ini dimuat di buletin pustaka edisi April 2015