Trial
and Error, Find Your Passion
“Bundaa! Ikuut!” teriak
Shafa kecil ketika saya hendak berangkat mengajar. Tangisnya pecah sembari
meraung-raung ketika sepeda motor saya jalankan. Saya berusaha mengabaikan
panggilannya yang menyayat itu. Ketika melirik kaca spion, saya sempat
menangkap bayang tangan kecilnya yang menggapai-gapai. Sampai-sampai ayahnya
kewalahan mendiamkannya. Duh! Rasanya benar-benar serba salah. Kami memang
berbagi tugas. Pagi sampai sore suami kerja. Setelah suami pulang, saya
mengajar privat walaupun tidak setiap hari.
Saya seringkali dibuat
heran dengan putri saya yang beranjak 2 tahun itu. Seharian bersama saya, hanya
ditinggal mengajar 2-3 jam saja, nangisnya nggak ketulungan begitu. Walhasil,
saya berangkat mengajar dengan hati tak tenang. Jangan-jangan ia nggak mau diam, jangan-jangan ayahnya tidak bisa
meng-handle-nya, bagaimana nanti kalau Shafa merasa kecewa dan marah pada saya?
Saya menyadari ini resiko pekerjaan sehingga walaupun saya bekerja di
bimbingan belajar pun, saya harus mengajar dengan profesional. Ketika sampai di
tempat kerja, saya tak pernah absen menghubungi suami untuk menanyakan keadaan
putri kami. Untunglah ia mau diam setelah dialihkan perhatiannya.
Fyuhh.. melelahkan dan
menyedihkan. Saya nggak tahu sampai kapan bisa bertahan seperti ini. Saya harus
mengalami kejadian itu terjadi secara berulang-ulang selama 4x dalam sepekan.
Egoiskah saya? Suami memang mengizinkan saya bekerja sambilan dengan alasan
agar ilmu yang saya pelajari di bangku kuliah itu tak hilang sia-sia. Lagipula
saya tak melalaikan urusan rumah tangga. Semua well done ketika suami pulang. Namun ketika saya berpikir ulang,
merenung, dan menimbang mana yang lebih baik dan pas untuk saya, di situlah
saya harus mengambil keputusan. Keputusan yang mudah sebenarnya, tapi idealisme
saya mendominasi. Kehidupan dan lingkungan telah banyak mengubah persepsi saya
bahwa lulusan perguruan tinggi ya lebih baik bekerja daripada di rumah. Malu
rasanya berstatus ibu rumah tangga yang tidak bekerja (dalam arti tidak
menghasilkan materi).
Namun, lagi-lagi, ketika
mengingat derai tangis anak saya tiap kali saya pergi, saya sadar. Untuk apa
berlelah-lelah mengorbankan waktu untuk anak demi hasil yang tak seberapa?
Bukankah jika saya memilih di rumah, ‘kekacauan’ sore itu tak perlu terjadi
berulang-ulang? Kasihan suami. Sudah capek pulang kerja, malah ditinggal pergi
istri dan masih di tambah tugas meredam tangis si kecil. Hiks.
Dan jadilah saya resign dari kantor. Meninggalkan
siswa-siswi yang merengek meminta saya untuk tetap di sana. Meninggalkan hiruk
pikuk lalu lintas dan debu campur polusi yang mengotori wajah. Meninggalkan
gengsi atas gelar baru yang sebentar lagi saya sandang: ibu rumah tangga. Saya camkan
pada diri saya bahwa ibu rumah tangga masa kini adalah ibu rumah tangga yang
cerdas, melek informasi, teknologi, dan internet. Syukur-syukur bisa
mengerjakan sesuatu yang berbasis rumahan. Ibu rumah tangga produktif yang
menjadikan rumah sebagai base camp
aktivitasnya. Saya pun menemukan banyak usaha yang bisa dirintis dan digeluti
oleh ibu rumah tangga, seperti warung kelontong, laundry, penjahit, catering,
bimbingan belajar, salon, penulis, penerjemah, toko online, dan masih banyak
lagi. Saya tergiur, bahkan ada seorang ibu rumah tangga bisa meraup laba sampai
jutaan rupiah per bulan hanya dari rumah. Ah, semua memang membutuhkan proses
dan skill tetapi bukankah keterampilan bisa disambi alias learning by doing?
Setelah diskusi dengan suami,
saya dibantu teman pun mulai bergerak. Trial
n error pun saya jalani sebab memang saya belum berpengalaman mengelola
usaha. Saya membuka jasa bimbingan
belajar yang memfasilitasi para mahasiswa yang mencari tambahan uang saku
dengan mengajar privat. Saya tidak perlu menyediakan tempat dan properti
pendukung kegiatan belajar mengajar, sebab nanti tentor-lah yang akan datang ke
rumah siswa. Dengan modal minim, kami memulai dari menyebarkan iklan lowongan
kerja di koran, rekrutmen tentor yang mumpuni dalam mengajar (minimal mahasiswa
semester 5), mendesain logo, mencetak brosur dan menyebarkannya serta gencar
berpromosi.
Di awal-awal berdiri, saya
harus banyak berinteraksi dengan calon pengguna jasa, menghubungi tentor satu
per satu untuk mem-fix kan jadwal
mengajar, menghitung arus kas masuk dan keluar hingga melayani komplain dari
pelanggan. Semua saya lakukan sembari mengasuh anak, menyapu, atau memasak. Inilah
karunia terbesar untuk para ibu, yaitu kemampuan multitasking. Kerjaan banyak, semua beres. Ya wajar lah kalau
sekali dua kali keteteran. Itu semua manusiawi.
Namun ketika bimbel
sederhana ini sudah berjalan, masalah bertimbulan seperti jerawat di pori-pori
kulit. Ada siswa yang tak cocok dengan gaya mengajar sang tentor, ada orangtua
yang minta ganti tentor yang lebih komunikatif, dan yang membuat saya kesal
adalah tentor meminta berhenti secara mendadak, atau kabur tak bisa dihubungi. Terkadang
permintaan banyak, eh malah tentor tak ada yang availlable. Saya pun terkadang turun tangan untuk mengajar jika
mata pelajaran sesuai bidang saya. Tentu saja si kecil saya bawa, dan saya pun
membawa kandungan yang makin besar dari hari ke hari. Hiks. Memang ‘perusahaan
mini’ ini belum bisa disebut valid dan profesional. Saya kewalahan dan
menyerah. Akhirnya usaha ini hanya mampu bertahan selama 2 tahun. Tapi saya
tidak menyesal sebab saya mendapat pengalaman dan pelajaran yang sangat
bermakna dalam perjalanan merintis bimbel itu. Saya menghibur diri. Tak apa trial n error. Mungkin belum rejeki atau
memang bukan passion saya, jadi saya
tak bisa memaksakan diri untuk bertahan.
Berkaca dari asyiknya
mengelola usaha bimbel saya yang finally gulung
tikar itu, saya pun mulai mencari-cari peluang lagi. Dan pilihan saya jatuh pada
menulis. Saya pikir, usaha bimbel bukan passion
saya, sebab saya lebih suka mengerjakan sesuatu tanpa tekanan, sesuai mood, dan tanpa terikat dengan siapapun.
Maka, berawal dari lomba menulis cerpen di facebook,
saya mencoba menggeliatkan kembali hobby menulis yang bertahun-tahun saya
tinggalkan. Dengan kenekatan tiada tara saya mengirim cerpen yang saya tulis
selama berhari-hari. Setelah diumumkan, saya menyabet juara 2. Rasanya wow
banget, mengingat saya hanya seorang penulis amatir dengan senjata coba-coba. Dari
situlah, saya ketagihan menulis.
Di sela-sela kesibukan
rumah tangga dan mengasuh 2 balita, saya menyempatkan waktu untuk menulis.
Entah di catatan kecil, di draft sms,
atau kertas bekas bungkus bawang. Saya pun jadi lebih getol membaca sebagai
amunisi agar tulisan saya lebih berbobot. Dateline
juga memacu adrenalin saya untuk disiplin dalam menulis. Di samping itu, saya
mencoba mengirim tulisan ke media. Kadang dimuat, dan kadang juga tidak.
Perlahan-lahan saya mencoba belajar menjadi penulis buku.
Saya sungguh menikmati
pekerjaan ini meski ternyata juga banyak tantangan yang harus saya taklukkan
yaitu kemalasan dan kejelian menangkap ide yang bertebaran di sekitar. Dengan
menulis, saya tetap bisa mnjadi ratu di rumah dan menghandel semua pekerjaan
rumah. Saya semakin memahami bahwa seasyik-asyik pekerjaan adalah yang
dilakukan dengan sepenuh hati dan membuat kita bahagia. Tak ada unsur
keterpaksaan apalagi tekanan dari atasan atau pihak lain. Yang ada, kitalah
yang menjadi bos atas diri sendiri dan bertanggung jawab penuh pada pilihan
kita. So, bagi ladies/ibu-ibu yang telah memilih untuk stay tune at home sweet home, inilah saatnya untuk mencintai dan
menikmati pekerjaan kita, dengan segala lika-liku dan pasang surutnya.
Demikian sepenggal kisah
sederhana ini saya tutup, bahwa siapapun kita dan apapun latar belakang kita,
dengan kesungguhan, kita bisa menuai sukses dari rumah. Sepakat kan?
*Tulisan ini diikutsertakan dalam
Lomba Menulis “Asyiknya Bekerja dari Rumah”. Saya belum memiliki buku “Asyiknya
Bekerja dari Rumah” dan sangat ingin memilikinya untuk memperkaya wawasan
seputar kerja rumahan, siapa tahu juga ada inspirasi bisnis yang bisa dilakukan
fulltime mom seperti saya :-)
Komentar