ceritanya nih, cerpen ini so special buat saya. i dont know why. yang jelas cerpen ini selalu mengingatkan saya akan tanah kelahiran saya yang kini berubah. dari kampung menjadi metropolitan hihi.
oh ya cerpen ini terselip dalam antolongi 'Ambarawa di Ujung Pena' yang telah terbit tahun 2013 lalu.
happy Reading :)
Kelindan Kenangan di Tanah Ngampin
Malam memanggul rembulan pucat. Langit kelabu
bergumpal-gumpal, berebut mendekatkan diri pada sang bulan. Mengambil alih
tabur bintang-gemintang yang berkedip-kedip di sekitarnya. Brama mendongak.
Menatap cawan hitam raksasa dari balkon rumah gedongnya. Dehem halilintar tak
menyurutkan langkahnya untuk menikmati gelap dan pengap di luaran. Membiarkan cappucino-nya
mengepul sia-sia.
“Besok saya tidak ke kantor. Tolong
susun kembali jadwal saya ya. Saya akan ke luar kota selama tiga hari” pinta
Brama kepada seseorang lewat ponselnya. Beberapa detik kemudian, Brama kembali
pada kehampaan yang melingkupi hatinya. Hampa yang telah bermetamorfosis
menjadi gemunung rindu.
Rindu itu kian mencekik. Menghalangi
saluran nafas Brama hingga sisakan sengal tak berkesudah. Rindu yang memaksa
sepasang kakinya pulang mereguk kenangan silam kampung halaman. Menggali setiap
keping ingatan dan menyibak tabir keingintahuan tentang sebuah rahasia. Meski
harus melanggar janji lama yang telah ia tanam kuat-kuat dalam hati.
***
Bus patas Ramayana melaju dengan
kecepatan sedang menyusuri jalur Pantura. Mata teduh Brama menatap pemandangan
malam dari balik jendela. Kerdip lampu-lampu, berganti sawah, rumah-rumah,
bersliweran. Gelap dan terang. Mencuri perhatian.
Brama menikmati perjalanan dari satu
kota ke kota lain, yang hampir tak pernah dijamah olehnya. Tinggal melewati
tiga kota lagi—Losarang, Jatibarang, dan Cirebon—sebelum roda bus menginjak tanah
Jawa Tengah. Masih sekitar delapan jam perjalanan untuk tiba di Ambarawa, jika
tidak bertemu kemacetan. Ia ingat perjalanan jauh pertamanya selepas SMA dulu.
Petualangan yang hanya bermodal nekat dan emosi semata. Melarikan diri dari dua
luka yang menjajah hati dan masa depannya. Saat itu, ia tak ubahnya anak remaja
labil yang tak dipedulikan zaman.
Dini hari menjelang subuh. Udara masih
berselimut kabut saat Brama menginjakkan kaki di terminal Ambarawa. Duduk
mencakung, menatap sekeliling yang tampak asing. Hatinya disergap kegamangan. Ia
tak punya rumah untuk pulang.
“Ngampin, Jambu, Ngampin, Mas?!” seorang
kernet angkot warna merah kuning, melambai ke arahnya. Brama menggeleng dan
tersenyum kecut. Ya, desa Ngampin adalah tujuan utamanya. Sebuah tempat yang
menyesaki ruang benak menahun lamanya. Atas nama kelindan kisah yang belum
sepenuhnya usai. Luka lama yang berkerak jelaga.
Brama mendesah. Uap air serupa asap
rokok terlahir dari bibirnya. Dirapatkan jaketnya untuk menghalau dingin yang
menyapa. Bertahun hidup di ibukota, senyaman apapun hawa AC dari rumah, kantor,
dan mobilnya, itu semua takkan bisa menggantikan hawa sejuk alami kota kecil
ini.
Suara adzan bergema dari masjid yang
terletak persis di samping terminal. Brama beranjak meninggalkan bangku karatan
tempatnya duduk tadi. Mencangklong ransel di punggungnya, ia mengayun langkah
menuju masjid. Meminta sepotong kemantapan dari-Nya bahwa kepulangannya ke sini
bukan karena dorongan nafsu semata. Melainkan dengan perhitungan akal sehat dan
kesadaran penuh.
“Sudah sampai di Mbahrowo lho, Mas” seseorang menepuk pundak Brama sesaat setelah
jamaah menyepi. Mata keduanya bertemu, lalu spontan berbagi senyum lebar dan
serengkuh pelukan persahabatan.
“Kok tahu aku di sini, Yud?”
“Lah! sudah berapa lama kita konconan, Mas Bramantyo?” kelakar Yudi.
Sahabat Brama sejak SD.
“Jangan panggil Mas dong! Eksklusif banget. Aku kan gelandangan. Hehehe”
“Gelandangan sukses, iya. Yuk, cabut ke
gubukku!”
Brama mengekor Yudi. Mereka berboncengan
menuju desa Ngampin Krajan, tempat Yudi bermukim. Sepanjang jalan mereka
bertukar cerita dengan akrab di dunia nyata. Tak hanya sebatas chatting di sosial media dunia maya.
***
Brama menggerakkan motor bebek Yudi
menyusuri jalanan yang lengang. Pukul delapan pagi, hiruk-pikuk orang berangkat
kerja dan para penimba ilmu telah berlalu. Berganti dengan keramaian ibu-ibu
bakul serabi yang mulai menggelar dagangan. Brama memelankan laju motor menuju
lapak serabi. Hendak memesan satu porsi kue gepeng itu lengkap dengan juruh
panas yang mengepul.
“Monggo
silakan duduk” ujar Mbak penjual serabi dengan ramah. Brama melihat sekilas.
Perempuan itu mungkin sebaya dirinya. Wajah ayunya mengingatkan Brama terhadap
seseorang. Seseorang yang menjadi alasan keberadaannya di desa ini sekarang.
Seseorang yang menjadi penentu masa depannya: sekarang atau tidak sama sekali.
Brama mengedarkan pandang ke sekitar. Begitu
banyak perubahan di desa tercinta ini. Lapak-lapak itu telah direnovasi
sedemikian rupa hingga nampak rapi. Tampah beralas daun pisang tempat menaruh
serabi, dengan tutup plastik berbentuk kerucut itu tetap seperti dulu. Juga
tungku-tungku mini berbalur hitam arang.
Ingatan Brama flashback ke masa remaja. Saat ia dan teman-teman remaja masjid menghabiskan
malam sya’banan lalu ngiras serabi bersama-sama. Di antara
gelak tawa teman-teman lelakinya, mata Brama bersirobok dengan sepasang mata
indah milik Aulia. Gadis berjilbab biru yang tengah bergerombol bersama
remaja-remaja putri lain. Mereka membuang pandang bersamaan. Merembetlah getar-getar
halus di hati keduanya. Menelusup indah. Namun rasa itu tersekap dalam
keterdiaman. Terpenjara di hati masing-masing. Mengendap dalam hati dan pikiran
Brama sepanjang tahun-tahun yang melelahkan. Sementara Aulia, Brama tak pernah
tahu kabar beritanya. Kecuali sedikit saja yang pernah ia dengar dari Yudi. Ya,
Aulia masih sendiri. Berharap masih ada sedikit sisa rasa di hati Aulia
untuknya. Meski hanya seserpih.
“Tiiinn!” suara klakson mobil membuat
Brama tergeragap. Rupanya posisi motornya menghalangi jalan. Brama segera
menggeser motornya dan membayar ongkos makannya. Melanjutkan perjalanan
nostalgianya mengulon. Ke arah barat.
Brama membuka kaca helmnya. Membiarkan udara pagi yang segar menampar lembut
wajahnya. Dihirupnya udara dalam-dalam hingga rongga paru-parunya disesaki
oksigen dan karbon monoksida. Dihembuskannya pelan. Bulir-bulir mozaik kenangan
masa lampau meruap, seiring dengan kebingungan yang mendadak melandanya.
Brama tak menemukan jembatan dekat SMP 3
tempatnya dulu memancing. Ia kehilangan elok panorama sawah dan ladang
tempatnya mencari jamur tiram saat musim hujan. Kehilangan mitos cerita hantu
penunggu buk Ngampin Kulon.
Abakadabra! Desa tercintanya telah disulap menjadi metropolitan. Semua lindap
dilibas roda peradaban. Mungkin beginilah reaksi para pemuda Ashabul Kahfi begitu
keluar gua: tercengang. Padahal Brama hanya tak bersua dengan kampungnya selama
belasan tahun. Bukan ratusan tahun.
Brama berhenti sejenak di gapura dekat
kolam renang. Menatap keajaiban yang tak pernah disangka. Di tempatnya berdiri
inilah muara jalan lingkar Ambarawa yang dipadati kendaraan dari berbagai arah.
Keberadaan SPBU, kios-kios kecil, warung makan, dan minimarket menjadikan desa
ini menggeliat.
Brama sengaja memarkir motor pinjaman
itu di pelataran kolam renang. Memutuskan untuk berjalan kaki menyusuri
jejak-jejak kenangan di desa tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Betapapun
pedih dan lara menyergap batinnya, ia tetap melangkah. Tersenyum ramah pada
setiap warga yang memandangnya dengan tatapan aneh. Ia merasa tak mengenal
siapa-siapa dan tak ingin dikenal siapapun.
Langkah Brama terhenti di depan pagar
sebuah rumah yang tampak sepi. Ada kecamuk rasa teraduk-aduk: bahagia, haru,
benci dan sesak. Setiap sudut rumah itu seolah bertutur tentang
ketidakharmonisan sebuah keluarga. Pertikaian demi pertikaian orang tua Brama
yang tak kunjung usai. Hingga biduk rumah tangga orang tuanya yang karam oleh
pengkhianatan. Tepat sepekan setelah kelulusan SMA Brama. Brama yang kecewa,
memilih minggat mengikuti Pakdhenya di Jakarta. Toh, bapak ibunya tak peduli
pada putra semata wayangnya itu. Mereka sibuk mencari-cari kebahagiaannya
masing-masing. Sibuk dengan materi dan jodohnya sendiri-sendiri.
“Madosi
sinten nggih, Mas?” sebuah suara membuyarkan lamunan Brama. Brama menoleh
dan mengangguk takzim, “Rumah ini milik siapa, Bu?”
“Itu rumah bermasalah, Mas. Harta
gono-gini. Kosong. Tidak ada yang menghuni” jelas ibu itu.
Brama mengangguk. “Oh iya. Jenengan tahu
rumah Aulia Dewi?”
Setelah ibu itu memberi tahu letak rumah
yang Brama cari, Brama berlalu setelah sebelumnya mengucap terima kasih.
Meninggalkan ibu itu dengan tanda tanya di kepalanya. Brama lega. Setidaknya ia
telah melepaskan rindunya akan rumah masa kecilnya.
Brama terus berjalan lurus hingga sampai
di areal persawahan. Rimbun pepohonan salak menyambut kedatangannya. Juga
gemericik riak air yang begitu akrab di telinganya. Brama kecil sering bermain
di situ. Mencari deduk, melihat
bebek-bebek berenang, bermain layangan. Brama remaja menghabiskan senja menulis
sajak dan menanam botol yang berisi surat cintanya untuk Aulia, tepat di bawah
pohon randu. Lelah mencari, Brama tak menemukan botol itu. Mungkin telah
tertimbun sedalam beberapa meter oleh tanah beraspal itu. Brama gusar.
Terkesiap oleh dorongan untuk menguak rahasia hati itu. Ia menyadari tak punya
banyak waktu.
Besok. Besok ia bertekad menemui Aulia
sebelum kembali ke pelukan ibukota.
***
Sore yang indah di desa Ngampin. Langit
bertahta mega. Cerah merona.
“Assalamu’alaikum” Brama menunggu dalam
debar setelah salamnya dijawab dari dalam. Suara khas itu semakin membulatkan
tekadnya untuk bicara. Tak peduli larangan Yudi untuk mendekati Aulia
disebabkan oleh sesuatu yang Yudi sendiri tak mau mengatakannya.
Klek!
Gagang pintu dibuka dari dalam. Sesosok
perempuan berjilbab hitam mencul di ambang pintu. Dalam radius dua meter, lutut
Brama gemetar. Aulia masih seanggun dan secantik dulu. Meski diakuinya bukan
hanya pesona fisiknya saja yang membuat hati Brama menggelepar. Brama
menundukkan pandang.
“Maaf. Anda mencari siapa?” tuturnya
sopan.
“Bagaimana kabarmu, Aulia? Bolehkah aku
meminta sedikit waktmu?” pinta Brama seketika melahirkan kerut di kening Aulia.
Ia seperti kenal dengan pemuda di hadapannya meski waktu telah memudarkan
keremajaan mereka.
“Bramantyo?” suara Aulia tercekat. “Apa
kabar?”
“Baik”.
Sejenak hening meretas. Mengambil alih
suasana. Membiarkan kedua insan itu larut dalam alam pikiran masing-masing.
“Maaf, Aulia. Kedatanganku ke sini hanya
ingin membebaskan ganjalan itu. Bersediakah kau hidup bersamaku?” Brama siap
atas segala konsekuensi. Termasuk jika Aulia menganggapnya tak waras. Bola mata
Aulia terbelalak sebentar. Tak ada angin, tiada hujan. Teman kecilnya itu
bertandang dan mengajaknya menikah.
Aulia membisu. Ada yang hempas dalam
dadanya. Seharusnya Aulia bahagia karena gayung cintanya bersambut. Seharusnya
ia mengiyakan dengan mudah tanpa harus berpikir panjang. Namun, bukankah sejak
Brama pergi tanpa pamit dua belas tahun silam, Aulia sudah menganggapnya
pecundang? Pecundang yang tega menelantarkan hatinya dan memberi harapan semu?
Aulia terlalu remuk mengingat semua itu.
“Maaf, Aulia. Jika kau berkenan, aku ingin
memperpanjang episode cerita kita yang terjeda masa”
Aulia masih bungkam. Tak disangkanya
Brama yang dulu kalem dan pendiam bisa menjelma se-berani itu. “Jawablah,
Aulia”
Aulia menggeleng. “Sesuatu yang
terlambat memang tak perlu dimulai” ucapnya tegas.
“Terlambat? Bukankah aku datang tepat
waktu untuk menemani kesendirianmu?”
Aulia meradang.”Jadi kau ke sini hanya
untuk memanfaatkan momen?
Begitukah?!”
“Apa maksudmu?” Brama semakin tak
mengerti dengan alur pikiran Aulia. Seribet itukah pemikiran perempuan?
Aulia menarik napas. “Aku memang
sendiri, Brama. Aku masih berkabung atas kepergian suamiku sepekan yang lalu.
Kumohon kau pergi saja dari rumah ini. Aku takut mengundang fitnah. Maaf” pinta
Aulia lembut tapi tegas. Menjerembabkan hati Brama pada perih kenyataan. Luka
lama yang tergores kedua kali.
Aulia hendak membalikkan badan, ketika
teriakan dua bocah kecil pulang mengaji, mengurungkannya.
“Bunda, ada tamu kok nggak di suruh masuk?” kata seorang
bocah laki-laki.
“Om siapa sih, Bunda?” timpal si bocah
perempuan.
Kedua pasang mata polos milik anak-anak itu
terus menatap Brama dengan tatapan yang sulit dijelaskan, seiring ketiga sosok
itu menghilang di balik pintu.
Brama luruh. Merelakan kegagalannya
meminang bidadari itu. Ia telah menggenapi dan mengerti sepenuhnya alasan Yudi
melarangnya menemui Aulia.
Bias keindahan senja mengiring
langkah-langkah Brama pulang.. Mengikhlaskan dua manusia tak berjodoh itu,
menjemput takdirnya masing-masing.
***