Bismillah...
Ceritanya
nih, pada hari Sabtu tanggal 13 Februari kemarin saya ikut kelas parenting di
Graha Wiyata Patemon, Semarang. Event ini diselenggarakan selama 2 hari ini
merupakan satu dari serangkaian acara open house yayasan Mutiara Hati kota
semarang. Selain kelas perenting, ada pula acara family gathering, senam
bersama, bakti sosial, dan lain-lain. Yayasan yang mempunyai visi ‘bersama
menumbuhkembangkan kesholihan pribadi dan masyarakat’ ini, memperingati milad
yang ke-10. Semoga yayasan Mutiara Hati terus bertumbuh, berkembang, mengakar,
dan memberikan kemanfaatan. Aamiin.
Acara
yang disponsori oleh PT Phapros, BMT Anda, Toko Apel Hijau, JSIT (Jaringan
Sekolah Islam Terpadu) Indonesia, dan AJM Stationary ini dibuka dengan membaca
Umul Kitab bersama, dilanjutkan dengan tasmi’ oleh para siswi SD IT Mutiara
Hati, sambutan kepala UPTD Kec.
Gunungpati, Pentas seni oleh para siswi TK IT Mutiara Hati, serta sambutan
ketua yayasan Mutiara Hati dan kepala desa Patemon.
Kelas
perenting kali ini mengambil tema yang sangat menarik yaitu ‘Didiklah anakmu
sesuai jamannya karena mereka tidak hidup di jamanmu’ dengan pembicara Bpk.
Joko Winarso, S.Si. M.Pd. Nasihat bijak yang digaungkan oleh sahabat nabi, Ali
bin Abi Thalib radhiyallahuanhu tersebut, patut kita pelajari dan gali lebih
dalam ilmunya, agar kita sebagai orangtua mampu merealisasikannya pada buah
hati kita.
Sebelum
acara inti dimulai, ada warming up dari panitia dengan memberikan game kecil
agar peserta bersemangat. Selain itu ada pula doorprize yang diberikan kepada peserta
di luar wali murid Mutiara Hati yang datang bersama pasangan. Deuhh, jadi
nyesel deh. Si uda sih nggak mau nemenin hihi.
Sebagai
ice breaker, ibu pemandu acara memberikan sebuah ilustrasi yang berasal dari
kisah nyata. Alkisah ada orangtua yang terlampau sibuk. Ayah sering ke luar
kota, bahkan ke luar negeri. Si ibu juga tak kalah sibuk. Berangkat pagi pulang
petang. Sang anak merasa kesepian meski materi berlimpah. Suatu ketika, si anak
bertanya pada sang ayah via telepon, dengan kesedihan mendalam, “kapan ayah pulang?”. Saat itu sang
ayah merasa tergugah. Nalurinya tersentak dengan pertanyaan sang anak yang
tampaknya sepele itu. Sang ayah tercenung dan menyadari sesuatu: bahwa dia
telah melewatkan banyak sekali momen penting bersama anak, yang kesemuanya itu
takkan bisa terulang.
Itulah
fenomena umum yang sering terjadi dalam kehidupan modern yang sibuk ini.
Orangtua dengan mudahnya berkata, ‘nanti ya, sebentar ya, besok ya, ayah lagi
sibuk’ atau ‘mama tak punya waktu’ dan berbagai alasan lain. Orangtua selalu
mengira masih punya banyak waktu panjang padahal umur manusia tidak ada yang
tahu, bukan?
Satu
hal yang patut kita syukuri sekarang atau detik ini bahwa Allah masih memberi
kebersamaan dengan anak-anak kita. Alhamdulillah. Ya, bersyukur memang mudah
diucapkan namun realitanya susah dimaknai. Pak Joko kemudian meminta hadirin
untuk menggerakkan jari-jemari.
Kemudian
beliau bercerita tentang rekannya yang harus kehilangan 4 jari akibat terkena
mesin press. “4 jari itu,” lanjut beliau, “Kalau mau diganti rugi oleh
perusahaan, berapakah harga yang pantas? 40 juta, 400 juta, atau 4 miliar?”.
Kebanyakan audiens menjawab ‘tak ternilai harganya’. Meskipun 4 jari itu telah
diganti dengan jari palsu yang mahal, tetaplah tak bisa digerakkan seperti jari
orang normal. Dari situ, kita belajar arti bersyukur. Bahwa jemari yang Allah
beri itu, sangat luar biasa. Kita tidak merasa memiliki sebelum kehilangan. Termasuk
anak kita. Setelah tahun demi tahun berlalu secepat pergantian siang malam dan
mendapati anak-anak sudah tumbuh semakin besar, ada sesuatu yang hilang yang
kita rasakan yaitu melewatkan momen terindah menjadi orangtua. Ada kata-kata
bijak yang bunyinya kurang lebih begini, “Ketika kita tidak memiliki waktu
untuk buah hati kita ketika dia masih kecil, maka tunggulah buah hati kita
tidak akan menghabiskan waktu bersama kita ketika kita tua.”
Ada
pula kisah nyata seorang ibu yang melahirkan bayi tanpa lengan. Meskipun rasa
kecewa, sedih, bingung berkelindan, si ibu—dengan ketegarannya—berdoa, “Ya,
Allah, Engkau Maha Tahu yang terbaik. Aku bersyukur, dia masih punya dua kaki.
Maka berkahilah dua kakinya...”. Pelajaran apa yang bisa kita ambil? ya, sang ibu
masih bersyukur dan lebih memilih melihat kelebihan daripada kekurangan
anaknya. Malu sekali mengingat saat kita ngomel ketika mengajari anak PR, marah
ketika nilai IPA anak jelek, merepet ketika anak melakukan kesalahan sedikit
saja. Orangtua sering lupa, bahwa sejak anak dilahirkan di dunia, dia sudah
melimpahi kita dengan banyak sekali kebahagiaan yang hampir-hampir tak bisa
dihitung. Sedikit saja kekurangan anak, masa kita tak bisa memaafkannya? Hiks.
Jleb! Rasanya. Saya jadi ingat analogi ‘gelas setengah isi, setengah kosong’ di
buku Wonderful Family-nya Pak Cahyadi Takariawan yang sempat saya baca beberapa
hari yang lalu. Orang yang terampil melihat kelebihan akan bersyukur karena
masih punya setengah gelas berisi air untuk menghilangkan haus. Sedangkan orang
yang terampil melihat kekurangan, dia akan mengeluh karena isi gelasnya tinggal
separuh.
Ada
sebuah ungkapan bijak yang kurang lebih begini ‘kita tidak mengetahui apa yang
anak butuhkan di masa depan. Namun, sebaiknya kita membantu anak untuk makin
mencintai dan makin pandai belajar sehingga dia dapat belajar segala sesuatu
pada saat dibutuhkan’. Intinya, diperlukan generasi yang mau dan suka belajar. Misal,
seorang anak tengah tekun mempelajari tentang mesin motor. Tak tahunya, ketika
dia lulus, motor-motor yang dirakit dari Jepang adalah motor injeksi—yang
notabene tidak sesuai dengan apa yang dia pelajari saat sekolah. Namun, jika si
anak berjiwa pembelajar, dia tak mudah putus asa dengan perubahan. Dia akan
terus belajar untuk menguasai skill yang dia butuhkan dalam hidupnya.
Pak
Joko juga menyinggung betapa pentingnya menguasai bahasa, terutama bahasa
Inggris sebagai bahasa internasional. Sehingga anak-anak kita tidak akan gagap
komunikasi atau gagap teknologi karena terkendala bahasa yang tidak dikuasai.
Mau jadi seperti apa mereka, tergantung
orangtuanya.
Ini
3 pondasi versi pak joko sebagai bekal mendidik anak:
- Bersama pasangan, tetap ridho walau dalam keterbatasan
- Tetap ceria walau tak sempurna
- Tetap hangat walaupun tak sepadan
Sebab
jika ketiga aspek itu terwujud, akan tercipta suasana kondusif yang akan
membuat anak nyaman berada di rumah. Sudah semestinya tak ada tempat yang paling
nyaman bagi anak, melebihi rasa nyaman bersama orangtuanya di rumah.
Ada
4 hal yang merupakan imbas dari modernitas.
- Generasi yang jauh dari Al Qur’an
- Gaya hidup sekuler ( pacaran, miras, pornografi)
- Dunia jadi tujuan (anak sekarang cenderung pragmatis. Berpikir materi)
- Pahala atau piala? (mencari ridho Allah paling utama daripada mengharap penghargaan manusia)
Berikut
adalah aspek karakter anak yang hendak kita siapkan untuk masa depannya.
- Religius (beriman dan bertaqwa, aqidah lurus, ibadahnya benar)
- Pengetahuan (mencintai Al Qur’an, berwawasan luas, menguasai ilmu agama, menguasai akademik)
- Keterampilan (sehat, bugar, berjiwa enterpreneur, terampil, mandiri)
- Sikap (berakhlak mulia, berkarakter sungguh-sungguh, bertanggung jawab, demokratis)
Faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi perkembangan anak
- Internal (gen, ras, jenis kelamin)
- Eksternal (kondisi dalam kandungan, kasih sayang, lingkungan sosial)
Anak belajar dari apa yang orangtua
lakukan
Perilaku
orangtua membentuk watak dan jati diri anak. Perilaku positif orangtua seperti
mengarahkan, berdialog, memberi pedoman, mengajarkan komitmen, dan konsistensi akan
memberikan output yang positif. Sebaliknya, perilaku negatif seperti
memanjakan, mencaci, mengabaikan dll akan membentuk konsep diri negatif pada
anak. jika hal itu terjadi berulang-ulang, anak akan terbiasa dengan sikap
negatif yang desktruktif.
Lantas,
bagaimana sikap kita yang seharusnya dalam mendidik anak. ini bocorannya:
- Menerima yang sedikit darinya
- Memaafkan yang menyulitkan
- Tidak membebani
- Tidak memakinya
- Memberi keteladanan
- Sabar
- Mendoakan anak
Mendidik
anak adalah proses yang berkesinambungan. Sabar dan syukur harus selalu ada
dalam perjalanan mendidik anak. Terkadang kita teramat letih melihat tingkah
polah anak yang jauh dari harapan. Namun, kita tidak boleh menyerah. Selama
anak dan orangtua masih punya nafas, harapan itu masih selalu ada. Kita tidak
pernah tahu bagaimana ‘nasib’ anak di masa depan. Siapa tahu anak yang sekarang
bandel/nakal/ menyedihkan, hari esok menjadi berubah jauh lebih baik. Terus
bimbing ananda, dan doakan tanpa terputus. Di mata anak, jadilah orangtua yang penuh
integritas dan juga hebat sehingga posisi orangtua tak tergantikan di hati
anak.
Kelas
perenting ini ditutup dengan sebuah pesan yang sarat makna : Orang yang paling
berbahagia adalah orang-orang yang melakukan hal-hal terbaik dalam hidupnya.
Alhamdulillah...
hari ini saya mendapat ilmu yang luar biasa. Semoga kita—para orangtua—selalu dibimbing-Nya
dalam mendidik dan memberikan yang terbaik bagi buah hati. Aamiin yaa robbal
alamiin.
Rumah Cahaya,
14 Februari 2016
Komentar
Baca tulisan mbak sungguh memberikan secerca harapan kepada saya. Pasalnya kemarin itu bayi saya Ghifa yg baru 5 bulan dijudge orang kalau bakal jadi anak yg kalau minta sesuatu harus dituruti. Sedih mbak. Tapi saya selalu berdoa semoga apa yg mereka katakan tidak benar.
nggak mudah, tapi juga nggak sulit ya. Uuhuhuhu, jadi merasa masih jauh dari orang tua yang baik.
Keren tulisannya, runut banget :) Sip Mbak!
Mb wahyu: udah berhasil ni lho komennya. Hihi. Suwun ya sudah mampir :)
Setuju, bahwa kita harus selalu mendoakan anak dan menerima kekurangan-kekurangannya :)
Trima kasih sudah mampir ya mbak
Mb prana: iya mbak. Saya juga sprti ditampar oleh statemen pembicaranya itu. Anak sehat, aktif, jarang sakit, ceria, nurut. Semua itu bisa hilang tnpa beka saat anak sesekali tantrum. Hiks. Suwun y mbak sudah mampir :)
mendidik anak memang tanggung jawab yang besar banget ya.. apalagi di era gadget spt skrg ini
Makasih Mba Rinda :*