Hari
Sabtu, 4 Juni 2016 adalah unforgettable day bagi saya. Apa pasal?
Pertama,
saya datang di momen penting si sulung yaitu acara akhirussanah di sekolahnya. Kebetulan
saya merangkap sebagai penerima tamu. Yang paling mendebarkan adalah saat
menyaksikan kak Shafa tampil. Dia menarikan tari Anging Mamiri, bermain drama,
dan tampil hafalan surat An Naba. Alhamdulillah semua berjalan lancar hingga
paripurna. Saya pun diberi kesehatan dan kekuatan (biasanya ambruk) hihi.
view eling bening yang ciamik abis |
Bakda
duhur, langsung meluncur ke Eling Bening. Netizen kebanyakan udah pada ngeh kan
dengan objek wisata anyar di kota Ambarawa ini? hmm, semenjak proyek Elben
(singkatan dari Eling Bening) baru tahap pembangunan, netizen udah ada yang
berhasil ‘menyelinap’ ke sini dan mengunggah foto-foto kerennya di sosmed. Ketika
googling, foto ini udah tersebar di dunia maya. Weleh, saya berasa kudet
banget. Orang pribumi Ambarawa malah blas belom pernah ke sana. Hihi
buku ASW yang dibedah (foto kolpri mbak wahyu) |
.
Jadi
ceritanya komunitas Penulis Ambarawa (Penarawa) punya gawe dengan tajuk ‘Sastra
Bening: Bedah buku antologi Ambarawa Seribu Wajah’ sekaligus pembacaan puisi
dalam buku tersebut. Siang itu tampak panitia dengan kaos warna biru yang siap
membirukan Eling Bening. Dalam acara ini hadir Prof. Yusriadi (akademisi) dan Bapak
Hok Hiong (wakil rakyat peduli Pendidikan, Seni, dan Budaya) sebagai pembedah,
serta Bapak Tung Hermanto selaku owner Eling Bening). Acara dibuka dengan performance
gamelan oleh grup perkusi SMP Mater Alma yang sudah berkali-kali menyabet gelar
juara. Semakin gayeng dengan suara merdu sinden bu Umi Basiroh dan Bu Amie
Williams dengan Gurit Dhandhanggulo: Ambarawa Kuthaku. Tak lupa mbak Dini
Rahmawati tampil memukau dengan pembacaan puisi berjudul: Ambarawa dalam Lipatan.
Ketua
penarawa memberikan sambutan dengan sebuah kalimat “Saya ingin menangis”
mungkin speechless dengan event
sastra ini. Ya, karir komunitas Penarawa yang berdiri tahun 2013, semakin
merangkak naik. Satu per satu impian mulai menjelma nyata. Salut atas
perjuangannya yang luar biasa!
kita birukan eling Bening |
Buku
antologi ketiga : Ambarawa Seribu Wajah
pun dibedah. Buku ini memiliki warna yang unik karena berisi puisi-puisi dari
berbagai kalangan/profesi di Ambarawa mulai dari tukang cukur, tukang parkir, sopir,
dokter, guru, siswa, mahasiswa, hingga pejabat. Berbulan-bulan tim menyusun
buku ini hingga alhamdulillah buku ini telah memasuki cetakan ketiga. Impian
penarawa adalah menyebarkan 1000 buku ke sekolah, instansi, dengan gratis.
Sebab buku ini memang salah satu masterpiece
penarawa yang layak diapresiasi. Bagi yang berminat untuk membeli bukunya, bisa
menghubungi Pak Agus Surawan/Arinda Shafa via inbox fb atau 085726351451
(mendadak ngiklan :D) atau bagi donatur yang ingin menyumbang, kami terima
dengan penuh terima kasih J
Sore
menjelang. Panas berkurang dan view semakin cantik. Acara semakin semarak oleh
monolog oleh Soekiran dari Saung Suara Salatiga, juga pantomim yang lucu abis. Mas
Daniel Godan Exaudi pun tampil memukau dengan pembacaan puisi karya Muhammad
Fawzi berjudul: Akulah Enceng Gondok dan
Kalian yang Menjadikanku Raja.
liputannya tayang di koran Suara Merdeka |
Dan...
inilah momen yang membuat saya nervous dan hampir ga bisa tidur selama
berhari-hari. Ya, gegara mau baca puisi. Puisi berjudul ‘Aku, Awan, dan Eling Bening’ ini saya buat dalam waktu semalam,
sambil memeram mual dan lemes. Saya pun ngrepotin pak ketua untuk mengetik
ulang puisi ini yang saya kirimkan via sms. Setelah beberapa hari, surprise
banget bahwa puisi sederhana ini menjadi puisi terpilih. Alhamdulillah...
Ya,
finally disinilah saya. Dilihat ratusan pasang mata (halah). Disaksikan
gunung-gunung. Cahaya berpendaran dari kendaraan yang melintas di jalan
lingkar. Suasana tenang, setelang Rawa Pening nun jauh di sana. Saya berdiri
gemetar mengumpul-ngumpulkan kepercayaan diri demi membaca puisi. Setelah pak
ketua masuk intro lagunya ‘Keindahan’, saya melangkah maju...
Aku, Awan, dan Eling Bening
Gerigi waktu menuntun lamunan
Mengeja nama terbata
Sebuah tempat nun di sudut kota Ambarawa
Awan
mega mengarak
Jiwa
raga merangkak
Tapaki
rona-rona elok
Meretas
jalan berkelok-kelok
Dan
kutemui kemegahanmu di haribaan semesta
Eling
Bening namamu
Seelok
kerling gadis ramping penjual jamu
Seapik
batik tulis tersentuh canting
Semerdu
bocah gembala dengan seruling nyaring
Dalam
semilir angin, jutaan senyum kian tersungging
Lewat awan yang mengapung rendah
Kau sapa saudaramu Si Rawa Pening
“Apa kabar wahai Baru Klinthing?”
Dengan
awan aku bergunjing
“Wahai
awan, aku berdiri di tebing cakrawala
Merentang
kedua tangan seumpama kepak sayap elang
Kuhirup
udara sebanyak kubisa
Kulihat
Telomoyo yang digdaya
Jalan
lingkar Ambarawa yang perkasa”
“Pulanglah,”
kata awan bijaksana.
“Karena
senja telah meraja”
Kutatap pandang ke seberang
“Aku takkan pulang hari ini
Eling Bening menahanku di sini
Sebab, sebagian hatiku... tlah tercuri”
Aih,
leganyaaa...serasa berhasil mengeluarkan biji duku yang nyangkut di
kerongkongan.hihi.
tanda tangan di prasasti |
Sebelum
acara ditutup, semua peserta beramai-ramai menandatangani ‘prasasti’ Eling
Bening: Sebuah MMT besar yang tertulis puisi saya di sana. Terharu :’) momen
ini takkan terlupa. Terima kasih semuanya. Bersastra kita bahagia!
Rumah Cahaya,
16 Juni 2016
Arinda Shafa
Komentar