Mengenal Keanekaragaman Kota Ambarawa Melalui Puisi (Resensi dimuat di Koran Jakarta edisi Kamis, 25 Agustus 2016)
Judul : Ambarawa Seribu Wajah
Penyusun : Tim Penulis Ambarawa
Penerbit : Hasfa Publishing
Terbit : 2016
Tebal : 238 halaman
ISBN : 978-602-7693-15-9
“Termangu mengeja waktu di sana. Semburat matahari di puncak Telomoyo. Mirip si kikir menyembunyi kilau emas terakhir. Gelisah mengira orang hendak mencuri harta. Menjemput kabut di tepi Rawa Pening. Sampan nelayan menepi ayam pulang kandang. Banyubiru merambat kelabu. Mengeja waktu di denting piring penjaja kupat tahu,” (hal 1).
Itulah penggalan puisi pembuka buku antologi puisi Ambarawa Seribu Wajah yang berjudul Senja di Ambarawa. Dia mewakili gambaran sebuah kota kecil dengan kekayaan gunung, rawa, suasana senja, dan ragam mata pencaharian. Semua berpadu dalam gubahan puisi.
Puisi-puisi lain yang tak kalah memukau bertajuk Ambarawa dalam Lipatan (hal 16), Kotoran Sajak (hal182), Aku adalah Enceng Gondok, Kalian yang Menjadikanku Raja (hal 218). Dalam antologi ini, terdapat 188 puisi yang dibagi dalam beberapa kategori bertema: tempat eksotis, elegi, romantisme, perjuangan, pesona dan kerinduan, kritik, kearifan lokal, dan petuah.
Ada juga geguritan (puisi berbahasa Jawa yang biasa dinyanyikan). Uniknya, dalam antologi ini, tak hanya orang yang paham sastra atau melek literasi menyumbangkan puisi. Ada beragam latar belakang seperti pejabat pemerintahan, wakil rakyat, camat, kapolsek, pensiunan, guru, dokter, sastrawan, siswa SD dan mahasiswa. Ada juga tukang parkir, tukang cukur, tukang reparasi jam, penjaga toko, guru keliling, baby sitter, penjual tahu campur, dan sopir. Mereka berpartisipasi menyemarakkan dan memberi sentuhan warna buku.
Dengan kata lain, buku gado-gado ini lahir sebagai refleksi 1.000 wajah penduduknya yang bersinggungan dengan tempat penghidupan sehari-hari. Ada juga spirit kebersamaan untuk mengangkat keindahan sebuah kota dalam sebuah karya sastra milik bersama.
Camat Ambarawa Drs Haris Pranowo dalam pengantar menyatakan, Ambarawa tidak semata menunjuk pada sebuah wilayah, tetapi mengandung arti sebuah kultur, semangat untuk mempertahankan eksistensi dan harga diri. Juga semangat untuk meraih masa depan lebih baik. Semangat kerja keras dan memberi makna pada kehidupan. Yang tak kalah penting, semangat peduli dan berbagi (hal iii).
Pembaca diajak masuk ke dalam lorong waktu puluhan tahun silam saat Ambarawa masih dikangkangi kompeni. Ada kisah perjuangan hidup orang-orang kecil mengupayakan rezeki di tiap sudut kota. Diceritakan pula keindahan alam, hawa sejuk, dan objek wisata.
Sebagai persembahan, penyusun (Komunitas Penulis Ambarawa) berharap semoga buku membawa kerinduan untuk pulang kampung halaman. Semoga buku menebar berkah, inspirasi, dan perubahan untuk kemajuan. Semoga buku digemari dan bermanfaat bagi masyarakat.
Proses mengumpulkan dan mengedit ratusan puisi dari berbagai latar belakang sosial dan profesi menjadi bukan pekerjaan mudah. Perlu kerja keras berbulan-bulan. Mereka harus berkeliling mengunjungi satu per satu target pembuat puisi, membujuk aga mau menulis. Tentu banyak penolakan. Para ‘Tim Pemburu Puisi’ berkisah dalam sebuah pengantarnya.
Sambil jajan sate, minum jamu, makan serabi, mereka membantu mereka menulis puisi. Terkadang hanya berupa data wawancara yang harus diterjemahkan menjadi puisi. Namun, tak disangka bahwa seorang sopir pun bisa menulis puisi. Demikian juga dengan pedagang ayam bakar, tukang parkir atau tukang cukur.
Mereka membawa alat tulis di lapangan (hal vii). Buku Ambarawa Seribu Wajah ini merupakan karya unik dan orisinal.
Diresensi Arinda Shafa, alumnus Universitas Negeri Semarang
*resensi ni dimuat di K
oran Jakarta edisi kamis, 25 Agustus 2016
Komentar