Saya mengenal tentang FLP (Forum Lingkar Pena) tahun 2004 saat awal masuk kuliah. Saat itu saya masih mahasiswa baru yang juga baru menyadari telah salah memilih tempat kos. Kondisi kos saya tidak kondusif. Minim privasi. Desain kamarnya berderet-deret seperti asrama. Tak ada pagar sehingga laki-laki bebas keluar masuk kos. Tak peduli akan etika berkunjung ke kos perempuan apalagi jam malam. Saat itu pula, hanya beberapa perempuan yang berkerudung. Itupun bisa dihitung dengan jari. Rupanya berkerudungpun saat ke kampus saja. Sampai di kos, kerudung ditanggalkan. Berganti pakaian seragam ala anak kos: celana pendek, kaos lengan pendek, atau babydoll. Mereka—termasuk saya—cuek saja ketika ada tamu laki-laki bersliweran. Saya bukannya tidak tahu kalau berjilbab hukumnya wajib bagi perempuan yang sudah baligh, tapi pengaruh lingkungan dan teman lebih mendominasi. Iman perlahan terkikis. Ketaatan memudar tanpa terasa. Hingga alibi inilah yang terlontar dari lisan: toh, masih dalam batas kesopanan, bukan?
Tahun berikutnya, saya memutuskan untuk pindah kos dengan dua pertimbangan. Pertama, ingin mencari yang lebih dekat dengan gedung fakultas. Kedua, ingin mencari lingkungan kondusif yang menerapkan privasi dengan peraturan yang benar-benar dipatuhi. Beruntung, saya mendapatkan rumah kos idaman itu dengan harga yang pas.
Dan di tahun yang sama mulailah saya terjebak dalam ‘mindset bisnis dalam rangka financial freedom’. Hebat bukan? Saya pun tersihir dalam pesona mahasiswa plus-plus yang kerjanya tak cuma nongkrongin kantin, kos, kampus. Mahasiswa dengan talenta, jaringan luas, penampilan rapi jali, dan kocek tebal hasil keringat sendiri. Mahasiswa yang harusnya malu masih mendapat transferan dari orangtua. Dengan semangat bergelora dan mimpi setinggi langit, saya pun join dalam bisnis ala-ala mahasiswa itu dengan modal nekat. Hasilnya? Relasi dan pengalaman bertambah tapi kocek masih saja cekak. Selama setahun menggeluti bisnis itu, saya memilih untuk mengibarkan bendera putih. Saya merasa tak berbakat dan sudah kehabisan tenaga untuk melanjutkan hingga level yang lebih tinggi.
Saya tak nyaman ketika harus pulang larut malam karena rapat bahkan berkali-kali terpaksa menginap di kos teman. Saya tak nyaman harus bersalaman erat dengan lawan jenis, berpenampilan modis tapi tak syar’i, dan campur baur yang tak terelakkan. Sebenarnya, kata hati saya telah bicara tetapi saya abai. Saya pun memutuskan untuk mundur.
Tahun ketiga, paska tumbangnya bisnis tersebut, saya kembali pindah kos. Tujuannya agar bisa move on dan mendapat angin segar alias suasana baru. Saya benar-benar ingin mengubah haluan hidup saya menjadi lebih baik dan lebih bermakna. Ya, saya membutuhkan sebuah ‘pelarian’ berupa sesuatu yang menyibukkan atau mengalihkan perhatian sehingga saya bisa berkonsentrasi terhadapnya. Dan ‘sesuatu’ itu bermula ketika saya iseng main ke toko buku kecil di depan masjid kampus. Jujur, saya sudah lama tak berakrab ria dengan buku kecuali buku mata kuliah yang tebal-tebal itu. Saya ambil satu buku dan mulai membaca sebuah kumcer berjudul ‘Bayangan Bidadari’ karya Nurul F. Huda. Semua cerita bernapaskan islami dan mengandung hikmah. Sangat berbeda dengan novel atau buku-buku roman picisan yang menyajikan cerita untuk sekadar hiburan.
koleksi buku buku karya FLP |
Berawal dari satu buku yang akhirnya saya beli itu, saya ketagihan membaca buku terutama buku-buku islami. Saya pun rajin nongkrong di toko buku Hikmah Media sampai penjaganya hafal dengan saya. Beliau terlihat sama sekali tak keberatan meski ujung-ujungnya saya hanya membeli buku saku seharga 8 ribu rupiah. Saya sampai rela menahan diri untuk tidak jajan demi membeli buku-buku yang membuat saya jatuh cinta itu. Kepuasan batin, ilmu, hikmah, dan makanan ruhani bagi jiwa saya yang kering.
Setelah koleksi buku saya berjumlah belasan, saya baru ngeh kalau di cover belakang itu terdapat logo bertuliskan ‘FLP atau Forum Lingkar Pena’. Ketika saya bertanya kepada seorang teman rohis, beliau menjelaskan bahwa FLP adalah komunitas pecinta literasi yang berdiri tahun 1997 yang digawangi oleh Mbak Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dkk. FLP merupakan komunitas yang mewadahi lahirnya calon-calon penulis yang berkualitas mengingat bangsa ini membutuhkan bacaan yang bermutu. Kemudian saya mengenal majalah Annida yang merupakan sarana munculnya karya-karya anggota FLP. Majalah Annida tak hanya majalah bernafaskan islami tetapi juga memuat konten tentang dunia literasi tanah air.
Majalah Annida, membuat FLP makin eksis |
Berangkat dari situ, saya semakin getol membaca dan belajar menulis. Sebenarnya sejak SMP dulu sudah suka korespondensi dan menulis buku harian tetapi isinya hanya cerita tak penting dan kisah merah jambu. Saya bertekad mulai saat itu harus menulis meski catatan kecil, puisi, kata-kata mutiara, dan cerpen. Saya catat ide-ide yang melintas di benak sebab ide takkan datang dua kali.
dua buku panduan saya dalam belajar menulis |
Suatu ketika teman saya mengajak saya untuk bergabung di FLP cabang Semarang yang terdekat dekat kampus. Tertarik, tentu saja. Namun, saya mengkerut sebab karya saja tak punya. Saya hanya menulis untuk kepuasan pribadi dan terapi stress paling mujarab. Sudah lama tak mencoba mengirim naskah ke media cetak setelah patah hati sebab belasan puisi saya tak ada sebijipun yang dimuat. Saya pun malu sebab penampilan saya belum totally syar’i. Untuk saat ini cukuplah karya Habibburahman El Shirazy, Asma Nadia, Sinta Yudisia, Afifah Afra, dan Pipiet Senja yang membuat saya terinspirasi.
Enam tahun kemudian, keinginan untuk kembali menulis muncul seiring menjamurnya lomba-lomba menulis di dunia maya. Saya berniat menulis untuk menyebar kebaikan, sekecil apapun. Sekali dua kali kemenangan menghampiri. Membuat saya terpacu. Bersama teman-teman satu daerah, kami merintis komunitas penulis yang semoga kelak melahirkan penulis-penulis yang karyanya berkualitas dan mencerahkan orang banyak seperti FLP. Karya-karya penulis FLP merupakan titik balik saya dalam menemukan hidayah dan ide-ide kebaikan. Senada dengan pernyataan bapak Taufik Ismail bahwa FLP adalah hadiah Tuhan untuk Indonesia.
Komentar