Tak seorangpun di dunia ini mau mengalami momen
kehilangan. Entah kehilangan anggota keluarga, sahabat, kekasih, anggota badan,
benda kesayangan ataupun sesuatu yang tak kasat mata seperti motivasi,
ilmu dan kepercayaan diri. Tapi seseorang mungkin diuji Allah dengan suatu
kehilangan agar bisa memaknai dan menjaga saat ‘sesuatu’ itu ada, hingga bisa
mengambil hikmah dan pelajaran darinya.
Saat itu semester akhir kuliahku, saat adik
memberiku sebuah kado mungil berisi sebuah dompet. Tahu saja dia, dompet
kakaknya sudah udzur, tak layak pakai. Dompet hadiah itu berwarna softpink berhias
bunga putih. Simpel dan cantik. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama dengan
dompet itu. Lalu semua kartu-kartu penting, foto-foto, sejumlah uang, dan
beberapa struk belanja kupindah di dompet baruku itu.
Saking sayangnya, kutempatkan dompet itu di tempat
terhormat di dalam lemari dan tak lupa menguncinya. Kunci lemari itu kusimpan
baik-baik di tempat yang hanya aku sendiri yang tahu. Agak merepotkan memang,
tapi semua demi keamanan. Bukan maksud hati berprasangka, tetapi tinggal di kos
yang ramai memang harus ekstra hati-hati. Orang yang sepertinya baik, bisa saja menjadi musuh
dalam selimut. Malangnya, itu tak hanya sekali terjadi di kos yang kutinggali. Seorang
mahasiswi tega mencuri uang milik teman sekamarnya. Kasusnya klasik:
membutuhkan uang untuk bayar semesteran.
Padahal uang itu ia gunakan untuk mengikuti tren fesyen, make up, dan kebutuhan
sekunder lainnya. Puncaknya, mahasiswi itu dipaksa hengkang dari kos oleh ibu
bapak kos karena ulahnya sendiri yang tak bisa lagi ditolerir.
Sebulan sudah dompet itu bersamaku. Ia menjadi
bagian tak terpisahkan. Bila bepergian atau ke kampus, selalu kumasukkan ke
dalam tas dan menutupnya rapat-rapat.
Hingga, satu hari ia raib seperti ditelan bumi.
Hari itu aku berangkat kuliah siang bersama Sella,
teman sekosku, dan Vika, teman Sella. Sebelumnya mereka berdua melepas lelah di
kamarku setelah kuliah pagi. Aku baru ‘ngeh’ saat pulang kuliah dan ingin
membeli makan siang, dompet itu tak kutemukan. Aku terpaksa berhutang pada
Sella. Ia dan Vika pun berbaik hati menemaniku menyusuri sepanjang jalan ke kampus untuk
mencarinya, siapa tahu dompet itu terjatuh. Tapi nihil.
“Coba diingat lagi, Ri dimana naruhnya. Semoga kalau
masih rezeki, ya ketemu,” kata Vika menghibur sambil menepuk-nepuk pundakku.
Kuingat lagi
rangkaian peristiwa hari itu. Tetap tak bisa.
Pasrah, ku hanya bisa berdoa semoga orang yang
menemukannya berbaik hati mengembalikannya padaku. Kan kuberi ia imbalan
sepantasnya.
Sebenarnya yang kusayangkan adalah dompet itu
sendiri dan kartu-kartu penting di dalamnya. Dompet itu pemberian adikku,
sedangkan mengurus kartu-kartu itu memakan waktu dan biaya yang tak sedikit. Aku
harus membuat surat kehilangan ke kantor polisi, membuat KTP dan SIM baru,
menghubungi pihak bank untuk memblokir ATM, mengurus kartu tanda mahasiswa, serta
kartu keanggotaan yang lain, yang semuanya baru.
Ribet dan melelahkan!
“Gimana, Ri? Udah ketemu dompetnya?” Vika bertanya
lagi
Aku menggeleng lemah.
“Sabar ya. Aku turut prihatin,” cetusnya lagi.
Namun, beberapa minggu berselang, saat aku telah melupakan
sakitnya kehilangan, dompet itu ditemukan!
Mbok Ni, pembantu ibu kos yang menemukannya di
tempat pembuangan sampah, ketika ia hendak membakar sampah daun kering. Kondisinya
masih bagus, sedikit berdebu, tapi kosong melompong tak ada isinya sama sekali.
Dompet itu pasti
dicuri. Tapi siapa pelakunya? mengapa ‘menguras’ semua isinya? Bahkan struk
belanja tak penting pun raib.
Satu dugaan melintas. Pencuri itu pasti mengenalku
karena ‘mengembalikan’ dompet itu pada pemiliknya. Terbukti dia membuangnya di lokasi yang tak
jauh dari kosku. Eh, atau pencuri itu yang ceroboh? Ugh! Andai detektif Conan
bisa meluncur ke sini secepat kilat, pasti akan kumintai bantuan untuk
menemukan pelakunya. Gemes banget. Okelah, uang hilang tak masalah. Tapi ini,
kartu-kartu penting juga diembat! Sama saja aku harus mengeluarkan biaya dan
waktu untuk mengurus semua kartu-kartu itu.
Saat aku termenung di dalam kamar, Sella menghampiriku.
Bersamaan dengan kalimat Sella yang membuatku terperangah.
“Memang terkadang, orang terdekat itu yang harus
kita waspadai, Ri. Ya, si serigala berbulu domba.”
“Maksudmu?” tanyaku dengan kening berkerut.
“Saat kamu ketiduran dulu, aku memergoki Vika mengaduk-aduk
isi tasmu…”
**
Tulisan ini diikutkan dalam Irawati Hamid
First Giveaway “Momen yang Paling Berkesan & Tak Terlupakan”
Semoga blog irawatihamid.com ini makin kece seperti ownernya, makin berkah dan membawa banyak manfaat. sering-sering saja ngadain GA juga ya mbak. hihi. sharing is caring, right?
Komentar
Nyeseg.. Bukan barang sih, tapi hati :D
trus gimana dengan kartu-kartu yang ada di dalam dompet pink itu? apakah si Vika mengembalikannya pada Mba??
terimakasih sudah berpartisipasi di GA saya yah Mba :)
Kl.ktmu orgnya, ugh rasanya gemesa.bgt.
Mb khoirur rohmah; banget mbak hiks
Mb irawati: trpaksa y ngurus.kartu2. Lagi semuanya mbak.bhujs.