banner film Wonderful Life |
Alhamdulillah,
pada hari Rabu, 13 Oktober 2016, saya diberi kesempatan oleh-Nya untuk nobar
film Wonderful Life bareng komunitas IIDN Semarang-Gandjel Rel di Citra 21
Studio 4 Semarang. kebetulan tayang perdana hari ini. Filmnya menyentuh dan
mengharukan. ini reviewnya. cekidott...
Apa jadinya
kalau sebagai orangtua, kita mendapati anak belum bisa membaca dan menulis saat
lulus TK? Panik? Bingung? Sudah barang tentu. Pertanyaan demi pertanyaan bernada
kekhawatiran muncul: bagaimana nanti mengikuti pelajaran? Bisakah dia
berprestasi di sekolah? Bagaimana cara agar dia bisa calistung? Segala cara
diupayakan agar anak bisa calistung hingga dia diikutkan les. Berbagai buku dan
media pembelajaran juga laris manis di pasaran. Bahkan sampai anak dibawa ke terapis. Tak
hanya orangtua, guru kelasnya pun turut bingung menghadapi anak dengan
keterlambatan membaca dan menulis ini. Proses belajar terhambat dengan hadirnya
anak disleksia di kelas. Anak yang bersangkutan pun bisa saja menjadi stress
dan rawan dibully oleh teman-temannya.
Itulah yang
dialami oleh Amalia, seorang ibu sekaligus wanita karir yang memiliki anak
penyandang disleksia dan autisme ringan. Amalia yang berkarakter perfeksionis, begitu
panik saat dihadapkan pada kenyataan bahwa Aqil, putra tunggalnya yang berusia
8 tahun dikategorikan sebagai siswa yang ‘bermasalah’ di sekolah. Setiap kali
diminta belajar (membaca buku teks), huruf-huruf itu seakan terbang,
melompat-lompat, membesar-mengecil, dan berganti posisi naik turun, hingga Aqil
merasa pusing saat berhadapan dengan huruf-huruf dan rangkaian aksara itu.
Imajinasinya menuntunnya untuk menggambar. Di sekolah, Aqil acapkali dikatakan
sebagai ‘anak bodoh’ karena menulis huruf dengan terbalik-balik. Aqil juga mendapat hukuman karena selalu tidak
bisa berkonsentrasi saat pelajaran berlangsung dan malah asyik dengan dunianya
sendiri yaitu menggambar.
Konflik
berkembang saat Amalia memutuskan untuk cuti dari pekerjaannya selama
sepekan/dua pekan demi mengobati Aqil. Tujuannya adalah pergi ke pelosok-pelosok
desa untuk bertemu dengan para ‘ahli’ pengobatan. Amalia menganggap Aqil sakit.
Ada masalah dengan tubuhnya sehingga harus segera diobati agar dia berprestasi
di sekolah. Sejujurnya, Amalia malu memiliki anak berkebutuhan khusus.
salah satu adegan dalam film. Amalia dan Aqil bermain di alam terbuka |
Petualangan
pun dimulai. Ibu dan anak itu menempuh perjalanan sangat jauh. Mereka menuju ke
rumah seorang psikolog yang biasa menangani anak berkebutuhan khusus. Mereka
juga mengujungi seorang ahli tenaga dalam, juga ahli herbal, dan terapis.
Mereka semua menyatakan bahwa tidak ada masalah dengan kesehatan Aqil. Dia
sehat dan baik-baik saja. Dia hanya butuh ditemani belajar bersama sang ibu di
alam terbuka, berakrab dengan alam, dan diberikan kebebasan untuk
mengekspresikan imajinasinya. Tidak puas dengan ‘diagnosis’ pada ahli tersebut,
Amalia mendapat referensi untuk berobat ke dukun sakti di pedalaman sebuah
kampung. Tak dinyana, dukun sakti yang dimaksud adalah dukun yang membuka
praktik ritual aneh berbau pencabulan. Amalia dan Aqil pun kabur dari rumah
sang dukun itu hingga terjebak di tepi danau dan tak bisa pulang karena
kemalaman. Ditemani dua orang lelaki
kocak yang menolongnya, Amalia dan Aqil menghabiskan malam di tepi danau.
Menatap bintang-bintang dan disinari cahaya api unggun. Itulah kebahagiaan
untuk Aqil.
Perjuangan
Amalia benar-benar luar biasa. Dia nyaris stress karena selama mendampingi Aqil
‘berobat’, dia mendapat tekanan
pekerjaan. Sebagai seorang CEO sebuah perusahaan agensi, dia tak henti-henti
dihubungi oleh rekan kerjanya di kantor yang kebingungan akan keberadaannya,
padahal meeting sudah tak bisa ditunda lagi. Klien sudah tak sabar menanyakan
progress pekerjaan. Sedang di daerah terpencil, signal nyaris tak ada. Di sisi
lain, Amalia juga mendapat intimidasi dari ayahnya yang tak henti menanyakan
penyakit Aqil, cucunya. Selain itu, suaminya tidak care dengan keadaan Aqil dan
lebih memprioritaskan pekerjaannya.
Sebuah titik
balik yang membuat Amalia tersadar adalah ketika Aqil hilang di pasar. Amalia
begitu panik. Dia mencari anaknya di sekeliling pasar dengan pias dan nyaris
putus asa. Aqil dikerumuni banyak orang yang menyebut-nyebut kecelakaan. Ternyata
tidak terjadi apa-apa dengan Aqil. Orang-orang mengerumuninya karena gambarnya
bagus sekali. Amalia seperti tertampar. Dia sadar bahwa anak jauh lebih
berharga daripada ambisi pribadinya untuk membuat Aqil pintar dan berprestasi secara
akademik di sekolah. Amalia sadar bahwa Aqil benar-benar anak spesial yang memiliki bakat luar biasa dalam seni dan
olahraga—seperti kata guru kelasnya. Dia tidak sama dengan anak lain. Dunianya
adalah alam terbuka, bukan tembok-tembok yang seakan mengungkungnya. Dia
tipikal anak yang tidak bisa diam apalagi duduk manis menerima pelajaran. Dia
anak istimewa yang harus diberi ruang untuk berkarya. Bukan dituntut dan
dipaksa untuk menjadi ‘seperti anak lain’ yang bukan dirinya, yang tentu
perlahan tapi pasti membunuh karakternya.
Sepanjang
perjalanan pulang, mereka berdua mengalami kejadian-kejadian seru yang semakin
mengakrabkan hubungan keduanya, seperti menginap di terminal, naik pick up
dengan kambing, naik sampan. Saat tiba di rumah, ayah Amalia masih bersikukuh
dengan prinsipnya bahwa anak yang cerdas adalah anak yang sempurna kecerdasan
akademiknya: nilai A, selalu ranking pertama, dan mengusai semua mata
pelajaran. Amalia pun merasa menjadi anak yang gagal, setelah kakak kandungnya
Nino meninggal dalam kecelakaan karena stress oleh tuntutan dan doktrin sang
ayah. Amalia pun merasa gagal menjadi seorang ibu. Namun, ibu Amalia datang
menghibur putrinya. Inilah quotes yang sangat saya sukai: ‘Kita ini perempuan.
Makhluk yang kuat. Kita mengandung, melahirkan, dan membesarkan anak. Ibu yang
menyayangi anaknya dengan tulus, bukan ibu yang gagal.” Ah, kalimat itu begitu
menyentuh dan melegakan.
Film bergenre
drama keluarga ini merupakan adaptasi dari novel yang merupakan kisah nyata
yang dialami oleh Amalia dan Aqil penyandang disleksia. Disleksia adalah sebuah gangguan dalam
perkembangan baca tulis yang umumnya terjadi pada anak usia 7-8 tahun.
Penderita disleksia secara fisik tidak akan terlihat sebagai penderita.
Disleksia tidak hanya terbatas pada ketidakmampuan seseorang untuk
menyusun/membaca kalimat dalam urutan terbalik tetapi juga dalam berbagai macam
urutan atas bawah, kiri ke kanan, dan sulit menerima perintah yang seharusnya
dilanjutkan ke memory pada otak. Hal ini yang sering menyebabkan penderita
disleksia dianggap tidak konsentrasi dalam berbagai hal (Wikipedia).
Film
berdurasi 90 menit ini memberikan wacana
dan mengubah paradigma orangtua kebanyakan yang berpendapat bahwa anak
pintar/cerdas adalah anak yang berprestasi unggul di sekolah. Padahal tidak selalu demikian. Anak terlahir
sempurna dengan kelebihan, kekurangan, dan bakatnya masing-masing. Tugas
orangtua adalah mengarahkan tumbuh dan berkembang menjadi dirinya sendiri
sesuai dengan passion-nya dan tidak menjadi bayang-bayang orangtuanya. Anak
bukan miniatur orang dewasa. Dia punya perasaan, keinginan, cita-cita yang
tidak harus sama dengan orangtuanya. Sebab Allah merancang anak manusia dengan
tujuan mulia yaitu menjadi pemimpin (khalifah) di muka bumi.
Ayah Edy
pernah berkata bahwa orangtua tidak boleh menuntut anak untuk menguasai semua
skill dan mata pelajaran. Ibarat sebuah pohon kelapa, dia akan berbuah kelapa.
Mustahil dia menghasilkan buah pisang, jeruk, apel, dan sebagainya. Sebuah
analogi yang menarik untuk direnungkan bersama.
Film
Wonderful Life ini recommended untuk ditonton oleh para orangtua dan calon
orangtua sebagai bekal ilmu parenting. Meskipun ada adegan yang kurang
mendidik, yaitu saat Amalia dan Aqil makan di warteg dan ternyata Amalia
kehilangan dompetnya. Mereka kabur dari warteg dan diteriaki maling makanan.
Meskipun di ending film ini ditampakkan bahwa Amalia mengganti
‘ketidakjujurannya’ dulu dengan nominal berkali-kali lipat jumlahnya. Akan
tetapi hal itu tidak mendidik anak untuk jujur.
Atiqah
Hasiholan, selaku pemeran utama dalam film ini, berakting dengan sangat baik.
Karakter si perfeksionis dan ambisius begitu melekat pada dirinya. Sedangkan
Sinyo yang berperan sebagai Aqil, juga terlihat kompak dengan sosok ibunya. Film
besutan sutradara Agus Makkie yang berakhir dengan happy ending ini juga diselipi dengan humor sehingga alur
cerita tidak membosankan.
Sepulang
saya dari nonton film ini, rasanya ingin segera sampai di rumah dan memeluk
anak-anak. Jutaan terima kasih pun tak cukup bagi mereka yang telah meruahi
kita dengan kebahagiaan. Kadang kita lupa bahwa kita sendiri tidak sempurna,
dan tidak mungkin menjadi sempurna, tetapi ironisnya menuntut kesempurnaan pada
anak. Ayah bunda, bagaimanapun kondisi anak kita, mereka tetaplah hadiah
terindah dari Allah yang harus kita bimbing dan jaga dengan sebaik-baiknya. Yakinlah bahwa potensi anak disalurkan dengan
maksimal, dia akan menjadi anak yang luar biasa, seperti tagline film ini:
karena setiap anak terlahir sempurna.
#perempuan
wonderful
#bewonderfulmovement
#wonderfullifemovie
#sariayubewonderful
Direview
oleh: Arinda Shafa
Komentar
Terkeren lagi bisa ngumpul sama temen2 blogger Gandjel Rel.
Tapi fokusku ke perut Mbak Rinda, hihihi, dedek bayi cium jauh ya :D Sehat, sehat dan sehat, yuhuiii...
kapan2 kumpul lagi ya Mba ^_^
mbak Nyi: aamiin. seneng bs ngumpul bareng komunitas. momen langka buat saya. hihi
mbsk Vita: iya. nyesel g ngajak si sulung nonton. hiks
mbak Mechta: yupi mbak
@thanks banget ya sudah mampir :)
mb ririt: betul. pengen nonton lagi tapi ngajak anakku yg SD
mbak icha: yup mbak. semoga kita bisa ketemuan lagi yaa
All: makasih udah mampir :)