Ngomongin soal buku? wuahh… saya banget deh. Dari
kecil sudah suka membaca karena orangtua memberi amunisi berupa majalah
anak-anak. Meski nggak punya koleksi buku anak karena saya anak desa yang akses
ke kota jauh, saya selalu rajin menyambangi perpustakaan sekolah untuk pinjam
buku. Mumpung gratis, euy. Alhamdulillah nggak pernah kena denda juga soalnya
saya mengembalikannya tepat waktu.
Mau tahu perjalanan kisah saya dan buku? #tsaah #kibasponi
Buku dan
Kelas Tercinta
Hobi membaca saya terus berlanjut hingga saya duduk di
bangku SMP dan SMA. Saat penjurusan, saya menyadari (ceile) agak ‘ngeh’ dengan
sesuatu yang berbau kata-kata, imajinasi, dan bahasa. Padahal sih otak memang
mendadak sering lemot sama angka, symbol, hafalan. So, jadilah saya masuk ke
kelas bahasa. Kelas itu the one n only. Mengingat jurusan IPA ada 3 kelas dan
IPS 4 kelas. #mlipir
Berada di kelas bahasa, membuat saya merasa nyaman
karena memang sesuai passion. Saya belajar bahasa Indonesia, bahasa Inggris,
dan Perancis lebih intensif. Saat pelajaran bahasa Indonesia, bu guru
mewajibkan kami untuk membaca minimal satu judul buku/novel dalam sepekan. Wow!
Padahal tugas dari guru lain juga seabrek. Namun, hikmahnya saya jadi melek literasi
(dikit sih, hihi). Saya jadi tahu NH. Dini, Marah Rusli, Sutan Takdir
Alisjahbana, Chairil Anwar, Mohtar Lubis, dan Hamka. Saya juga tahu tentang
majalah sastra sekaliber Horison. Saya juga sedikit-sedikit belajar bagaimana
menulis prosa, puisi, dan cerpen. Semua gara-gara buku. Biarlah dikatain ‘kutu
buku’ yang hobi nongkrongin perpus. Nyatanya gitu. Biar irit uang jajan dong
meski kantin melambai-lambai dan perut krucuk-krucuk. Hihi.
Ah, tak heran mengapa ayat Allah yang pertama turun
adalah perintah untuk iqra’. Bacalah!
Buku dan
Sarana Move on
Ini kisah saat zaman kuliah. Yang pernah muda, pasti
pernah dong merasakan yang namanya patah hati? Baper akut atau bahkan merasa
gagal move on? Merasa sendiri dalam keterasingan dan ketidakberdayaan? Nah,
saya banget tuh. #edisi curcol. Saya masih ingat-ingat lupa. Broken heart itu
saya alami saat duduk di bangku kuliah semester 4. Saya benar-benar mati gaya.
Mau di kampus, kok ya bête banget. Mau di kamar kos, makin senewen saya. Mau di
kantin, jalan-jalan, atau nonton, tapi sayang di kocek (teteupp). Pelarian
paling sip adalah buku. Sahabat terbaik adalah buku.
Berawal dari iseng-iseng mampir ke kios buku islami di
depan masjid kampus, saya lihat-lihat. Penjaga tokonya super baik. Saya juga
diijinkannya untuk baca-baca buku islami. Gratis. Sekali dua kali sih oke. Lha
kalau tiap hari, tentu saya pekewuh dengan si mas penjaga. Hihi. Akhirnya saya
bertekad untuk membeli satu buku tiap pekan. Bisa? Bisa dong. Meski harus hemat
banget dalam hal makan, jajan, dan pulsa. Menahan diri untuk nggak membeli hal
nggak penting. Jadilah saya mengantongi sekitar 20-35 ribu rupiah untuk beli
buku tiap weekend. Saya jadi langganan alias pembeli tetap di kios kecil itu.
Mas penjaganya sumringah kalau lihat saya masuk kiosnya. Hihi.
Benar saja. Luka batin dan sakit akibat patah hati perlahan
hilang. Kalau dipikir-pikir, kemana saja aku ini? Siapalah aku tanpa buku? Apa
isi otakku tanpa membaca? Ough… hikmah ini begitu indah. #mellow mode on.
Buku dan Pernikahan
Setengah tahun setelah lulus kuliah, koleksi buku saya
kebanyakan adalah fiksi dan nonfiksi islami remaja. Young adult lah. Buku-buku
itu memberi sumbangsih dan inspirasi besar bagi saya untuk berada di rel yang
benar. Sampai suatu ketika, saya dilamar oleh seseorang. Wuaah… rasanya
nano-nano deh. Bingung, takut, ragu. saya belum cukup bekal ilmu untuk get
married.
Mau tak mau, saya pun rajin diskusi dengan guru ngaji
terkait topic pernikahan. Saya pun membeli buku-buku bertema pernikahan. Jika
ada hal yang belum saya pahami, saya tanyakan kepada guru ngaji. Wawasan saya
bertambah. Setidaknya nggak malu-maluin di depan calon suami. Eh, lurusin niat.
Semoga ilmu yang tak seberapa ini bisa menjadi bekal sebagai istri solihah.
Aamiin. #muka bersemu dadu.
Antara Buku,
Bocah, dan Bookfair
Saat status saya telah menjadi Mahmud Abas (mama muda
anak baru satu), saya sudah kepikiran untuk membesarkan anak saya dengan Qur’an
dan buku. Alih-alih membelikan mainan, saya dan suami lebih memilih buku. Tentu
disesuaikan dengan usia anak. Pictbook islami menjadi pilihan. Tak masalah
bocah belum kenal huruf, apalagi piawai membaca. Yang terpenting, dia tertarik
dengan gambar-gambar dan cerita. Imajinasinya terbangun. Kalau bocah sudah
cinta buku dan cinta ilmu, hal teknis seperti membaca akan lebih mudah
dipelajari.
Sayangnya, harga buku anak-anak full colour lumayan mahal.
Sampai ratusan ribu, bo. So, momen emas yang ditunggu-tunggu adalah saat
pameran. Jauh-jauh saya jabanin demi segepok buku untuk bocah. Ya, di pameran,
uang 100 ribu sudah bisa beli 5-8 buku. Lumayan banget kan? #kedip-kedip mata
#emak irits
Buku,
Pemicuku Berkarya
Kalau sedang membaca buku bagus, saya kerap
mengkhayal.
‘Ah, mungkinkah aku jadi penulis suatu hari nanti?’
‘mungkinkah namaku terpampang di cover buku?’
‘sudah investasi banyak buku, harusnya menghasilkan
karya dong!’
Berawal dari facebook, saya mulai mengikuti lomba
menulis. Kepedean, mungkin iya. Saya yang sedari SMP sudah getol nulis buku
harian, merasa tertantang (padahal sih diary abal-abal ). Apalagi alumni kelas
bahasa saat SMA. Kuliah juga ambil bahasa inggris. Membaca sudah menjadi hobi.
Buku udah numpuk di rak. Harusnya bisa menulis dong!
Dengan modal nekat, saya ikut lomba cerpen, kala itu.
Hasilnya? Juara 2, bro! seperti mimpi rasanya. Dari starting point itu, saya
terus belajar menulis apa saja. Puisi, cerpen, artikel, dan resensi buku. Hikmah
dari terjun ke dunia literasi, membuat friendlist saya banyak. Koleksi buku
saya juga terus bertambah karena saya juga hobi ikut lomba, ngirim resensi, dan
ikut kuis atau giveaway. Hihi. Meski karya saya belum apa-apa, saya sudah
sangat happy dengan dunia literasi yang saya geluti ini.
Buku dan
Rumah Baca Impian
Berkaca dari kisah inspiratif mbak Asma Nadia yang
sukses dengan karir menulis dan rumah bacanya, saya pun ingin meniru jejak
beliau. Terinspirasi dari berita tentang seorang bapak yang mendirikan
perpustakaan di tengah lingkungan kumuh. Tentang seorang teman dunia maya yang
menggelar lapak ‘baca gratis’ di car free day. Juga tentang pemuda yang rela
memodifikasi motornya menjadi ‘motor pintar’ yang berkeliling dengan membawa
buku-buku bacaan ke kampung-kampung, saya jadi malu. Belum ada kontribusi
berarti yang saya lakukan untuk mengkampanyekan gerakan cinta buku, cinta ilmu.
Hiks.
Buku-buku saya yang
rapi bersampul plastik, hanya duduk manis di tempatnya. Hanya tangan saya atau
tangan suami yang sesekali menyentuhnya. Itupun masih dengan deretan peraturan:
‘nggak boleh baca sambil makan/minum, nggak boleh dilipat sudutnya, nggak boleh
kucel, biar awet harus pakai pembatas buku, dll.’ Padahal seindah-indahnya
nasib sebuah buku adalah saat dia melewati banyak tangan, ratusan hingga ribuan
kali dibaca, bahkan tak masalah jika sampul sobek, warnanya kucel, dan kembali
kepada si pemilik dengan kondisi yang memprihatinkan, atau parahnya tak tahu
dimana rimbanya. Itu artinya, si buku telah menempuh perjalanan panjang, telah
bekerja untuk menginspirasi dan menyentuh banyak hati. Diapun pulang dengan
penuh kelegaan.
Ah, saat ini yang bisa saya lakukan adalah membawa
sebagian buku-buku itu ke majelis taklim atau rapat komite sekolah, juga
woro-woro di sosmed bahwa saya meminjamkan buku gratis di rumah. Satu dua tamu
datang meminjam buku. Maka, kulepas dia dengan haru.
‘pergilah, bukuku. Semoga saldo tabungan amalku
bertambah karenamu’.
Aamiin.
Postingan ini diikut
sertakan dalam Giveaway Kisah Antara Aku dan Buku"
Komentar
Salam,
Izzah Annisa