Kak Syamil dan Dek Sayyida. mirippp pisan |
Assalamu’alaikum,
Alhamdulillah
setelah hampir 3 minggu vakum nulis, bisa berkesempatan buka laptop dan
benar-benar duduk manis untuk nulis. Selama ini (masa trimester tiga dan post
partum) hanya bisa corat-coret di atas kertas. Semata-mata agar ide tak menguap
or kabur kemana-mana.
Amazing pregnancy
Btw, saya
ingin share cerita saja tentang story saat hamil anak ketiga yang benar-benar
amazing ini. Memang benar, bahwa momen kehamilan adalah masa-masa membahagiakan
sekaligus rentan bagi seorang ibu dan calon ibu. Yah, bahagia karena telah diberikan amanah
oleh Allah. Namun, juga ketar-ketir menghadapi perjalanan 9 bulan yang tak bisa
dikatakan ‘ringan’. Rentan galau, stress, bahkan depresi. Hiks. Meski ini
kehamilan ketiga, saya mengalami lagi apa itu morning sickness. Mual, muntah,
sampai lemes. Tak hanya morning, tapi juga afternoon, evening, hingga night
hehe. Kehilangan selera makan dan pengen makan makanan tertentu alias ngidam. Bawaannya juga lebih sensi. Tidak hanya sensi
dalam hal indera penciuman dan indera perasa tapi juga sensi sama hal-hal yang
nggak penting, sensi sama suami, dan tingkah polah anak juga. Hiks. Maafkan
ummi ya nak. Ingin rasanya mengeluh sepanjang hari, namun apa yang bisa didapat
dari keluhan? Nggak ada. Bukannya mood tambah baik. Yang ada malah bikin kufur nikmat. Aih,
bukannya kehamilan adalah anugerah luar biasa?
Kalau
diingat-ingat, saya jauhhh lebih beruntung. Teman suami yang hamilnya
‘seangkatan’ saya malah sampai opname berkali-kali gara-gara kekurangan cairan.
Nggak ada makanan yang mau masuk ke dalam lambungnya, bahkan air putih pun
tertolak. Sehari bisa muntah sampai puluhan kali. Asupan yang masuk ke tubuhnya
hanya air rebusan jahe. Ya Allah, saya
belum apa-apanya. Hiks.
Lewat
trimester pertama, inilah ‘masa’ yang paling enak selama kehamilan yaitu
trimester kedua. Selera makan sudah kembali. Tidur bisa nyenyak. Bawaannya
lebih hepi daripada saat trimester pertama.
Alhamdulillah, saat kontrol bidan dan USG, janin sehat. Hanya tensi saya
yang kadang naik turun. So far so good deh.
selalu takjub lihat newborn baby |
Nah, masuk
trimester ketiga, ada yang nggak beres dengan kulit saya. Berawal dari benjolan
kecil warna pink seperti bekas gigitan nyamuk, lalu saya usap-usap. Palingan
besok juga hilang, pikir saya. Nyatanya benjolan itu datang rombongan. Rasanya gatal sekali. Kalau sudah kena garuk,
pecah, maka tinggallah rasa perih. Benjolan semakin melebar dan melebar persis
pulau-pulau dan menjelma warna hitam. Semakin hari semakin bertambah banyak dan
melebar kemana-mana. Sungguh tidak nyaman. Kalau saat cuaca panas yang membuat
saya berkeringat, maka gatal itu semakin menjadi-jadi. Saya bahkan harus mandi 3-4 kali sehari demi
mengurangi rasa gatal.
Saya tidak
tahu penyakit kulit jenis apa itu. Saya search di google. Bisa jadi itu herpes,
eksim, atau alergi. Ada juga yang bilang kebanyakan protein. Jadilah saya mencoba
salep yang dibelikan abi ke apotek. Ternyata dilarang sama bu bidan. Takut
ngefek ke janin, katanya. Ya sudahlah. Saya hentikan pemakaian salep. Setelahnya,
saya pakai air acid (strong acid). Saya semprotkan tiap kali habis mandi.
Sampai sebotol habispun, tak ada efeknya.
Saya minta suami untuk membelikan minyak bulus. Baru beberapa kali
pakai, saya yang nggak tahan bau amisnya. Pemakaian pun dihentikan. Lalu teman menyarankan diberi minyak but-but
alias herba jawi. Saya coba beberapa kali, sebelum adik memberi obat dari
Taiwan. Harganya lumayan mehong kalau beli di sana. Eh lumayan ngefek tetapi
hanya di bagian kulit yang nggak tersembunyi. Yang ketutup pakaian, susah
keringnya. Saya jabanin juga mandi pakai air daun sirih. Perihnya ajibb. Mandi
sudah biasa sambil teriak-teriak. Daan… semakin lama malah gatelnya nyebar ke
muka dan hidung. Saya benar-benar dibuat stress dengan penyakit satu ini. Mau
pergi, jalan-jalan, ribet garuk-garuk sendiri. Serba salah pokoknya. Ditambah
perut yang semakin buncit, semakin gatel di area lipatan kulit.
“Sudahlah,
sabar aja. Nanti habis lahiran pasti ilang. Itu kan gawan bayi,” kata seorang
teman. Hiks. Rasanya udah tersiksa banget. Oh ya sampai saya minta suami untuk
membelikan air kelapa wulung yang langka itu. Sampai saya rasanya sedih liat
penampakan badan saya di kaca. Udah gendut, bentol bentol kayak macan tutul. Ya
Allah, nikmatnya jadi bumil… luar biasa… hibur diri saya agar tetap hepi n
bersyukur.
Antara saya, tes lab dan Jarum suntik
Menjelang
trimester ketiga, udah barang tentu bu bidan menyarankan untuk cek hb
(hemoglobin). Berkali-kali saya (sengaja) menunda untuk tes hb. Ngilu membayangkan ujung jari ditusuk pakai
jarum. Pengalaman hamil pertama dan kedua dulu, ketika tes hb, saya peluk bu
bidan kenceng-kenceng . Kepala noleh biar nggak lihat darah yang hanya setetes
itu. Lebay, memang. Mungkin ini yang namanya trauma gara-gara dulu pernah gusi
kena suntik. Rasanya superr sakit. Jadi kalau lihat jarum, kembali baper ingat tragedi
gusi.
Kali ini
saya nggak enak kalau ditanya bu bidan dan kembali melontarkan seribu satu alasan.
Saya harus melawan ketakutan saya. Saya tanya-tanya teman dimana bisa cek hb
dengan ditusuk di ujung jari itu. Saya datangi klinik demi klinik, ternyata
yang pengambilan darah dengan ditusuk ujung jari cuma buat ngetes diabetes,
kolesterol dan asam urat. Sedangkan kalau cek hb harus di lab. It means… diambil
via pembuluh darah di lengan. Hasilnya lebih valid. Ya Allah…
Beberapa
hari sebelumnya, saya diantar abi ke puskesmas. Setelah antre beberapa saat,
saya diberi list oleh dokter serangkaian cek lab yang harus dilalui oleh bumil.
Ada hb, hepatitis, hiv aids, urine dan lain-lain. Dari rumah, saya hanya
menyiapkan mental untuk ‘metode tusuk ujung jari’ jadi agak nggak nervous. Namun, begitu giliran saya tiba…
“mana surat
pengantarnya?” itu ‘sapaan’ spesial dari petugas lab begitu kepala saya
melongok ke ruangannya. Ketus. Jauh dari ramah.
Saya
serahkan kertas dari bu dokter tadi. Eh,
level darah tingginya mendadak naik. “ibu salah periksa! Harusnya ibu
periksanya di bagian ibu dan anak. Bukan di umum!”.
“Saya
dikasih petunjuk sama bagian front office untuk periksa ke umum, mbak,” jawab
saya menyabar-nyabarkan diri meski gondok luar biasa. Petugas pelayanan umum kok congkaknya bukan
main. Mentang-mentang di puskesmas, saya juga bakalan bayar, batin saya kesal.
Lalu, antrelah
saya di bagian ibu dan anak demi syarat yang dimaksud si mbak petugas lab.
Nggak lama, setelah surat pengantar keluar, saya dikasih botol kecil untuk
menampung urine. Okelah beres meski dijutekin sedemikian rupa oleh si mbak.
“Udah, taruh
situ aja!” lagaknya bossy banget, sambil khusyuk mainan hp.
Giliran saya
mau cek darah, saya benar-benar merinding disko melihat jarum panjang, botol
alcohol, dan alat-alat di situ. Saya demam panggung. Saya bilang, “Mbak, ini
ngambil sampel darahnya ditusuk ujung
jarinya kan?” tanya saya innocent. Si mbak menghela napas panjang seakan-akan
saya ini pasien yang hanya akan merusak mood dan hari-hari indahnya.
“Ya nggaklah
bu. Diambil lewat lengan!” jawabnya tak kalah ketus dengan yang sudah-sudah.
“Oke.
Sebentar mbak.” Saya singsingkan lengan baju saya. Eh, ternyata sesak. Saya
bilang, akan melepas lengan baju sebelah kanan biar bisa diambil darahnya, eh
dia keburu menyahut tak sabar.
“Sudah, bu.
Lewat punggung tangan saja!” putusnya sepihak. Jadi seperti diinfus. Saya gemetaran. Keringat dingin mengalir
deras. eh si mbak sempat-sempatnya menambahkan pesan sponsor. “Tapi sakit lho
bu. Jangan ditarik tangannya!”
Seumur-umur,
saya belum pernah donor darah. Belum pernah ngalamin juga diinfus (jangan deh
ya) jadi benar-benar ngeri. Saya pejamkan mata. Mencoba konsentrasi, tapi
gagal. Saya menyerah!
“Maaf
mbak,nggak jadi saja,” putus saya. Si mbak nampak jengkel. Tanpa ba bi bu, dia
langsung buka pintu lab, menyuruh saya keluar. Secara nggak langsung, saya
menangkap maksudnya dengan benderang: saya diusir dari ruangannya! Saya tahu,
dia muntab. Nggak sabar menghadapi pasien macam saya. Harusnya, sebagai tenaga
kesehatan terdidik, dia tahu bagaimana menyikapi pasien. Bicara baik dengan
raut wajah menyenangkan. Meski nggak cantik, kalau tersenyum kan punya nilai
plus. Iya kan? Lah ini benar-benar menyakitkan hati! Dengan dongkol, saya pun
pergi. Pengen rasanya ngomel-ngomel tapi saya masih waras. Abi yang melayangkan
komplain ke pegawai bagian front office. Mereka hanya tersenyum kecut. Yah,
mungkin sudah bukan rahasia umum lagi kalau sikap si mbak kayak gitu. Mungkin dia
lagi pms, tanggal tua, sedang lelah, atau udah bawaan bayi.
Naudzubillahimindzalik deh #elusperut.
Berkaca dari
pengalaman nggak banget itu, saya pun mencari klinik yang ‘ramah’. Dari hunting
klinik itu, finally saya ketemu klinik Namira. Di sana bisa tes lab juga tapi
tetap harus diambil sampel darah lewat lengan. Hiks. Apa mau dikata. Saya harus
ikut prosedur. Saya harus melawan semua ketakutan saya. Kalau nggak, sampai kapanpun
saya nggak bakal berani. Saya hanya berdoa, semoga petugas lab nya baik,
lembut, dan ramah. Alhamdulillah… doa saya dikabulkan Allah. Nggak hanya muda
dan cantik, petugas lab di sana ramah, halus lembut, dan sabar. Ruangannya
super bersih dan nyaman. Saya diminta berbaring. Mbak itu menenangkan saya
bahwa rasanya tidak sakit asal rileks, tenang, dan tidak ditarik saat jarum
masuk. Benar saja. Cuma cekiiit sedikit lalu selesai. Sudah. Gitu doang. Halahhh!
Tiwas nggak bisa tidur seminggu 7 malam. Hihihi. Sudah gitu, cuma nunggu 10
menit, hasil lab sudah bisa diketahui. Ah, leganyaa… nah, ini yang namanya
professional. Oh ya disana ada apotek, praktik dokter umum, dokter gigi, dan
bidan juga. Bahkan ada pijat ibu hamil nifas dan baby spa. Besok kalu adek
sudah lahir, saya mau kesana lagi ah. #bukanendorse yak pemirsah. Hehe.
Ketika Si Baby Hendak Melihat Dunia
HPL saya tanggal
9 Januari 2017. Sejak akhir desember,
saya sudah merasakan kontraksi palsu. Rasaya sudah nggak nyaman tidur.
Sebentar-sebentar bangun untuk buang air kecil. Badan pegal-pegal dan cepat
lelah. Ditambah gatal yang semakin parah. Saya bahkan menyalakan kipas angin
nyaris 24 jam agar tidak gerah. Kebayang kalau mendadak mati lampu. Sayalah
orang pertama yang berasa ingin ngamuk sama PLN hihi.
si endut yang dikira babyboy |
Tak cuma
sampai di sana ‘derita bahagia’ bumil. Saya yang sensi bin baper ini pernah
juga kok nangis tanpa sebab. Mendadak sedih yang tak beralasan. Ada semacam
ketakutan-ketakutan yang menguasai pikiran. Baca status teman tentang syahidnya
ibu melahirkan, saya jadi baper akut lantas berpikir yang tidak-tidak. Lalu
saya ingat bahwa saya harus mensugesti diri dengan pikiran positif, stay happy,
dan menyiapkan diri sebaik-baiknya untuk proses persalinan. Latihan napas,
senam kegel, dan jalan-jalan pagi ditemani si kakak. Saya selipkan dalam
doa-doa bahwa saya ingin melahirkan normal, tanpa jahitan, sehat, dan mudah
sehingga bisa merawat anak-anak sebagaimana mestinya.
Dan hari
itu, jumat pagi tanggal 6 Januari 2017, saya merasakan kontraksi lagi, setelah
semalam bisa tidur nyenyak diiringi orchestra hujan. Saya hitung lama
kontraksi. Masih setengah jam sekali. Saya masih upyek di dapur, ngurus cucian,
dan beres-beres rumah. Lama-lama kontraksi semakin sering: dua puluh menit
sekali. Saya pun berbaring. Online sebentar. Tapi lama-lama, tangan saya makin
gemetar. Saya hitung masa kontraksi. Sudah sepuluh menit! Ya Allah, pantesan
saya gemetaran. Saya pun mandi dan meminta abi untuk siap-siap minjam mobil
tetangga. Anehnya, dia masih nyantai aja padahal saya sudah pringisan
(meringis-red) menahan sakit. Pengalaman yang sudah-sudah, nggak secepat ini
pembukaannya. Sedang hujan deras di luar. Nggak mungkin kita naik motor ke
klinik yang jaraknya sekitar 6 kilo dari
rumah.
Beruntung
mobil tetangga sedang nggak dipakai. Begitu mobil datang, saya sudah mbungkuk-mbungkuk.
Pegangan teralis, handel pintu, sampai mencengkeram jok mobil kuat-kuat. Saat
mobil jalan, kontraksi sudah sedemikian hebatnya. Ya Allah, jangan sampai
lahiran di mobil. Bayangin saja saya sudah horror banget. Beberapa menit sekali
saya pringisan lagi. Yang ada di kepala hanya dzikir. Istighfar. Asmaul husna. Minta
kekuatan. Dalam kondisi seperti ini, bayang-bayang ketakutan itu datang lagi. Ini
hari jum’at. Hari baik bagi umat islam. Kalaupun umur saya ternyata hanya
sampai hari ini, ya Allah, karuniakan syahid. Dalam hati saya menangis, ingat
dosa-dosa saya. Ingat amalan kebaikan yang tak seberapa. Betapa takutnya… la
hawla wala kuwwata ilabillah. Hanya pada-Mu kubersandar.
Sampai di
klinik bidan, saya sudah tak kuasa berjalan. Mulasnya sungguh hebat. Keringat
dingin mengucur deras, sederas hujan. Saya lihat Syamil, anak kedua saya dengan
perasaan yang campur aduk. Alhamdulillah, dia tidak rewel. Tidak minta ikut
masuk ke dalam ruangan persalinan. Dia duduk tenang di sofa, menonton televisi
sambil makan camilan. Sementara abi menunggui saya di ruang bersalin. Ah,
sungguh manis nian sikapnya.
Ketika
diperiksa oleh bidan, bukaan telah sempurna. Beberapa menit kemudian, ketuban
pun pecah dengan sendirinya. Nak, mari kita berjuang bersama, ucap saya lirih. Beberapa
kali mengejan hingga terengah-engah, diselingi minum larutan sari kurma, akhirnya
si babygirl keluar juga. Masya Allah, leganyaa. Tubuhnya merah, tangisnya
keras, geraknya aktif. Berat badan 3.4
kilo. Panjang 48 cm. Sehat, insyaa Allah. Tak bisa digambarkan perasaan saya setelah
bayi lahir dan melihat perut kembali rata. Ya setelah ini, tak ada lagi
tendangan-tendangan kaki mungilnya tetapi semua tergantikan dengan kebahagiaan
lain. Bisa menatap wajah imut, menggendong dan memeluknya dengan sepenuh cinta.
Alhamdulillah, hanya dalam waktu 6 jam sejak kontraksi pertama, dia sudah
lahir. Dan saya masih diberi kesempatan oleh-Nya untuk merawat amanah-Nya. Meski
jahitan kali ini cukup dalam dan lama, semua tak mengurangi kebahagiaan yang
merebak. Sungguh perjuangan 9 bulan, segala sakit, perih, dan air mata, telah
terbayar tunai dengan kehadirannya. Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu
dustakan?
duo kakak liat adek sedang diukur panjangnya |
Dear Sayyida
Aufa Rumaisha, welcome to the world. Semoga menjadi putri salihah, qurrota
‘ayun yang taat pada Allah dan Rasul, berbakti pada kedua orangtua, dan menjadi
generasi qurani yang bermanfaat bagi ummat. Aamiin yaa robbal alamiin.
Komentar
Makanya sy abadikan d blog hihi.meski buka aib.ttg gatel.itu
.hihi. iya duo kakak.emg udh gede. 6.5 thn sm.4 tahun
.
kecup jauh dari tante. Mba dijait berapa :( linu rasanyooo
Welcome to the world baby girl
.hohi bu.bidan g mau nyebutin jahit brp. Mgkin biar sy g shock.hehe
Mb vita: iya mbak. Tersiksaa banget. Bru kali.ini dpt bawaan gatel. Tp hbs lahiran masih aja gatelnya hiks.
Mb mechta: iyaa makasih doanya yaa
Aamiin
Mb muna: iya mbak. Drama bin lebay hihi. Makasih doanyaa
Kak keumala semoga jg sehat2 aamiin
All: trma kasih sudah mampir ^^
Alhamdulillah ya Mba, dedeknya sehat smg ummanya juga cepat pulih. Aamiin..
Blm sempat nengokin nih..
Mbak rahmamocca: iya mbak. Y nangis, hepi, sensi, emosian, hihi campur aduk lah
.aamiin mkasihh doanyaa
Ditunggu postingannya d blog y mbak
Mb arina: aamiin mbak. Doanya ya :)
Hohi.ngilu yg bagian mana ya? Jangan2 jarum.suntik.itu.hehe
Bude nung: iyo kpn2 kl ktmu lgi.bisa nyayang sakpuase.wkwk
btw aku jg orang nya fobia an mb dan sebel kalau pas nemu petugas puskesmas yg judes..aku seneng periksa di Rumah Zakat Bersalin, ambil pasien umum mb..ramah2 petugasnya :)