pintu masuk ke Grojogan Sewu |
Assalamualaikum man teman,
Travelling sudah menjadi gaya
hidup, bahkan ada yang menisbatkan sebagai kebutuhan. Slogan ‘kurang piknik’
yang sempat nge-hits itu seakan mengindikasikan kalau jalan-jalan atau travelling
adalah hal membahagiakan yang membuat seseorang tidak mudah stress dan emosian.
Dengan bepergian, tinggalkan sebentar rutinitas yang membuat lelah biar otak
tak lagi sepaneng, syaraf-syaraf mengendur. Hasilnya hidup lebih rileks dan
hepi. Ya kalau dianalogikan seperti komputer yang bekerja terus-menerus hingga
berpotensi nge-hang. Harus direfresh biar seger. Hehe.
Namun begitu, travelling bukan
satu-satunya solusi saat sumpek, lelah, dan bete. Mungkin kurang dzikir, kurang
tilawah, dan kurang syukurnya. Ups! Jadi malu saya. Kadang secangkir teh panas,
setoples kecil camilan, dan sebuah novel mampu membangkitkan goodmood. Apalagi
plus dipijitin dan dimasakin mi kuah telor sama suami tercintah. Ahaha. *kode
Ngomongin soal jalan-jalan nih. Tanggal
10 Desember 2017 lalu, kami bersepuluh jalan-jalan ke air terjun Grojogan Sewu.
Eh, bersepuluh itu terdiri dari saya, suami, tiga anak, dua ortu, adik, sama
bapak ibu mertua. Bapak ibu mertua pas datang dari Padang, trus weekend nginep
di Ambarawa. Karena bapak saya ada agenda ke Solo, jadi kami sekalian mau cari
wisata di sekitar Solo.
Destinasi awal memang mau ke
banyak tempat. Mampir PGS dan sebagainya. Namun dalam hidup selalu ada
ekspektasi beserta realitanya yang sering nggak kompak. Berangkat dari rumah
udah jam 9 an. Ditambah insiden ATM ketinggalan jadi harus putar balik. Tapi
kemanapun tujuan pikniknya itu, intinya harus dinikmati. Ya perjalanannya, ya
suntuknya di mobil berjam-jam, ya macetnya, ya anak-anak yang rewel. Itulah the
art of travelling. Sepakat kan?
wefie setelah berhasil menaklukkan seribu seperempat anak tangga |
Siang itu kota Solo asli terik
banget. Panas menyengat. Setelah silaturahim ke rumah teman bapak, lanjut
shalat duhur dan makan soto sapi yang seger banget. Aduh, lupa deh nama warung
makannya. Setelah makan siang, setel GPS menuju Tawangmangu yang letaknya di
Kabupaten Karanganyar. Perjalanan masih sekitar 2 jam dari kota Solo. Semakin
ke sana, cuaca mulai mendung, gerimis, dan hujan. Deras pula.
“30 tahun yang lalu bapak ibuk
terakhir kesini sama kamu pas balita.” Ibu mengenang. Saya ingat saat buka buka
foto album kenangan masa kecil saya. Ada foto bapak ibu muda tengah menggendong
balita perempuan dengan background air terjun. Wah keren. Saya jadi makin
penasaran karena belum pernah sekalipun napak tilas ke Tawangmangu.
“Hmm, pasti sudah banyak berubah.
Udah beda jauh sama yang di foto,” gumam saya.
my parents n me |
Saya terbangun ketika sudah
hampir sampai di lokasi. Mobil berjalan menanjak di tengah guyuran hujan. Jalan
berkelok-kelok seperti memutari gunung. Ya memang ini terletak di lereng gunung
Lawu. Berkali-kali hati dag dig dug saat berpapasan dengan kendaraan yang turun
dari arah berlawanan. Di bawah sana hamparan pemandangan indah terbentang,
andai tak tertutup kabut. Kios-kios makanan dan penginapan berjajar di
sepanjang jalan. Bus-bus pariwisata parkir. Kami berbelok lalu parkir di dekat
deretan penjual souvenir. Alhamdulillah hujan turun rintik-rintik. Kami menyewa
4 buah payung dari seorang ibu paruh baya. Payung-payung yang kami gunakan itu
tertera nama ‘RITA’. Mama mertua yang bernama sama dengan yang tertera di
payung, tertawa geli. Kok ya pas sekali.
Kami bersepuluh berjalan menuju
lokasi air terjun. Melewati lapak-lapak pedagang pakaian, souvenir, dan
oleh-oleh. Para pedagang tak henti menawarkan dagangannya. Kami memutuskan
lanjut saja meski hujan semakin deras.
Ah, sampailah kami di pintu masuk
bertuliskan sambutan selamat datang. Setelah membayar tiket seharga 17500
rupiah per orang, kami dan belasan orang pengunjung lain mulai menuruni anak
tangga satu per satu. Anak-anak tangga itu dari batu. Licin sekali saat hujan.
Ditambah saya nggendong bayi gendut dan mengenakan sandal yang sama sekali
nggak support di medan seperti ini. Anak-anak tangga itu pendek-pendek tapi
memutar dan terus memutar turun seolah tak berujung. Memang ada pondok untuk
tempat peristirahatan, namun rasa penasaran semakin membuat saya ogah berhenti
sebelum lihat air terjun secara live. Saya juga penasaran dengan mitos jembatan
pemisah yang ada di dekat air terjun. Menurut kepercayaan, kalau ada sepasang
muda mudi (noted: pacaran) yang melewati jembatan keramat itu, hubungannya bisa
kandas alias putus di tengah jalan. Entah benar apa nggak. Lagian siapa suruh
belum halal udah jalan bareng. Ehh
suasana dekat grojogan |
Oh ya, rupanya daya tarik air
terjun ini adalah perjuangan untuk sampai ke sana. Medannya itu loh luar biasa
melelahkan. Ibu saya ngilu tulangnya karena capek dan kedinginan. Mama mertua
saya juga menggigil karena nggak bawa jaket. Hujan seperti nggak ada
tanda-tanda mau berhenti. Ditambah lagi ini sudah masuk waktu asar. Timing yang
nggak tepat untuk wisata outdoor. Memang kami kurang pagi datangnya padahal
cuaca unpredictable. Harusnya emang nge-mall aja kalau hujan-hujan gini. Hehe. Tapi
kepalang basah, kami tetap harus liat air terjun dong ya. Semangat saya terbit
saat mendengar suara gemuruh. It means posisi kami udah dekat dengan air terjun
setinggi 81 meter itu.
ngeyup sejenak sebelum melanjutkan pendakian |
Nah, benar saja. Dari anak tangga
terakhir air terjun terlihat samar. Konon, masyarakat menamai Grojogan Sewu karena
debit air yang terus deras sepanjang tahun meski musim kemarau. Rindangnya
pepohonan dan hujan membuat view air terjun tak tampak jelas dari saya berdiri.
Lagipula kera-kera bersliweran kesana-kemari seakan nguntit. Eh geer amat yak.
Wkkk. Kera-kera itu mengingatkan saya pada kenangan buruk saat ke Bali dulu.
Mereka adalah makhluk liar yang tetap saja membuat kita melipatgandakan
kewaspadaan. Hiii.
Kamipun shalat asar di mushola
terdekat. Air wudhunya sukses membuat gigi gemeletuk. Ada kolam renang di dekat
air terjun. Anak-anak merengek minta renang segala. Ya ampunn. Tentu saya nggak
ngijinin anak-anak berenang dalam kondisi cuaca seburuk ini.
mama papa mertua kedinginan |
Sudah semakin sore. Pengunjung
sudah banyak yang pulang. Lapak-lapak yang menjual sate kelinci, sandal, dan
mie rebus sudah kukutan dari tadi. Betapapun
inginnya kami lihat air terjun, tetap tak memungkinkan. Jalan licin, hujan
semakin menggila, kabut memutih. Suasana sudah sangat sepi dan horor. Tak
mungkin juga untuk berfoto ria. Badan kami sudah menggigil hebat. Mungkin kami
rombongan terakhir yang meninggalkan lokasi. Jalan menanjak. Anak-anak tangga
batu melingkar lingkar seakan tanpa ujung. Penangkal hujan hanya payung.
Pakaian kami basah kuyup. Tenaga kami lunas. Ada rasa takut menyelinap saat
menyapu pandang ke sekitar. Pepohonan setinggi belasan meter menjulang, bahkan
kami melihat satu pohon besar tumbang. Langit memutih. Sesekali kilat menyapa
meruntuhkan mental kami. Bahkan kera-kera liar tak satupun yang nampak. Mereka
memilih tempat yang nyaman dari tempias hujan. Saya ingat bahwa tadi ada papan
bertuliskan himbauan untuk berhati-hati terhadap longsor. Yaa Allah rasanya
campur aduk tak karuan. Kami hanya terus melangkah dengan lirih dzikir, semoga
kaki kisut dan perih ini sampai di atas dengan selamat tak kurang suatu apapun.
jalanan menanjak nan licin |
Daan... tadaaa! Papan hijau itu
yang membuat kami sumringah dan lega luar biasa. Ya, kami berhasil menaklukkan
1250 anak tangga! Pantas saja serasa nggak sampai-sampai. Alhamdulillah,
beberapa menit kemudian kami sudah kembali ke pintu masuk. Hujan pun sudah agak
reda. Setelah mampir di lapak pedagang kain, kami menempuh perjalanan pulang.
hurrayyy sampai juga di lokasi awal |
Fyyuhh! Sungguh heroik perjalanan
panjang tadi. Ketika orang tidur nyenyak atau makan bakso panas atau menyeruput
wedang jahe, kami malah mengobral diri di alam terbuka.
“Jauh-jauh ke Tawangmangu mung
cuma mau hujan-hujanan,” kelakar ibu disusul geerr, tawa di dalam mobil.
“Tapi asli. Ini pengalaman
unforgetable banget. Bisa buat diceritain ke anak cucu. Haha.”
Ya, hari ini kami memiliki cerita
luar biasa. Cerita napak tilas yang sayapun bahkan sama sekali belum punya
memory tentang tempat itu. Cerita yang penuh makna dan pelajaran tentang sabar
dan syukur, meski sampai di rumah kami langsung tepar dengan baluran
count*rpain di badan. Alhamdulillah.
Komentar