Assalamu’alaikum
wr wb,
Hari Sabtu,
27 Januari 2018 lalu, saya mengikuti seminar parenting di gedung auditorium BPMPK
provinsi Jawa Tengah. Acara ini terselenggara dalam rangka Open House Yayasan
Mutiara Hati Semarang. Tema yang disuguhkan sangat menarik yaitu mempersipkan
anak menuju akil baligh. Pembicaranya adalah bapak Harry Santosa, seorang
pembicara nasional dan founder Fitrah-Based Education. Alhamdulillah banget,
Allah masih memberikan kesehatan, kelapangan waktu, dan kesempatan untuk
menimba ilmu.
Acara dibuka
dengan basmalah, tasmi, kemudian menyanyikan lagu Indonesia Raya. Acara
dilanjutkan dengan sambutan dari bapak Solichin selaku ketua yayasan Mutiara
Hati. Juga sambutan dari bapak Abdul Khair selaku ketua BPMPK provinsi Jawa
Tengah. BPMPK ini merupakan singkatan dari Balai Pengembangan Multimedia Pendidikan
dan Kebudayaan. Gedung BPMPK berlokasi di sebelah kebun durian Watu Simbar. Kita
bisa mengakses website BPMPK m-edukasi.kemendikbud. go.id untuk mendapatkan
sumber-sumber belajar berbasis mobile phone/multimedia. Insyaa Allah semua
konten yang ada di website tersebut aman untuk anak-anak.
Acara inti
dipandu oleh Bapak Ubaidilah Kamal selaku moderator. Beliau sedikit mengulas
tentang fenomena ‘pemuda jaman now’ yang begitu mengerikan. Sebagai contoh
kasus yang baru-baru ini terjadi. Dua orang pelajar SMK yang nekat membunuh
driver mobil online. Seorang pemuda yang menghabisi nyawa tetangganya gara-gara
masalah sepele. Dan baru-baru ini seorang siswa memukuli gurunya hingga
meninggal. Pun dan masih jamak kasus lain. Semua itu membuat kita—khususnya
para orangtua—introspeksi diri mengingat mereka adalah anak yang sudah baligh.
Bagaimana bisa? Apa penyebabnya? Adakah fase yang terlewat selama pengasuhan? Bagaimana
mempersiapkan anak memasuki masa akil baligh dengan sukses? Mari kita bersama
belajar dari pakarnya.
Bapak Harry
Santosa adalah seorang pakar dan praktisi Home Education, parents hood, dan fitrah-based
Education atau pendidikan berdasarkan fitrah. Senada dengan sabda Rasulullah
bahwa anak terlahir dengan membawa fitrahnya. Orangtuanya lah yang menjadikannya
yahudi, nasrani, atau majusi.
Kita, Para
orangtua, adalah arsitek peradaban. Allah telah mempercayakan amanah berupa
anak. Itu artinya kita adalah orangtua versi terbaik menurut Allah untuk
anak-anak kita. Allah sudah meng-install ‘aplikasi’ yang cocok untuk anak-anak
kita. Kuncinya adalah keyakinan dan gunakan kacamata fitrah. Yakin, bahwa insyaa
Allah kita dimampukan-Nya. Ketika ada masalah terkait pengasuhan, jangan buru-buru
gooling atau tanya ahli parenting, karena belum tentu cocok untuk diaplikasikan
pada anak. Kita amat jarang untuk
bertanya langsung sama Allah, yang telah menciptakan kita dan anak kita. So, berdiskusi sama Allah untuk menemukan solusi. Benar-benar makjleb pesannya.
Allah telah
membekali anak dengan fitrah yang baik. Namun, seringnya orangtua lah yang
merusak fitrah anak tanpa sadar. Contoh seorang bayi firahnya suka bangun pagi,
bahkan dini hari. Alih-alih orangtua bangun untuk tahajjud, si bayi ditidurin
lagi. Bayi suka bergerak, tapi ortu menyuruhnya diam. Bayi suka kebersihan. Dia
akan menangis jika popoknya basah. Tapi sejak ada diapers yang praktis, ortu
tak lagi tahu jam biologis/jadwal bayi pipis/pup. Hiks. Tercyduk saya.
Sebenarnya,
tak ada anak yang ‘nakal’. Sebutan ‘nakal’ tersebab dua hal yaitu:
1. Jeritan hati yang belum menemukan solusi
2. Potensi yang belum nampak buahnya
Pak Harry
berpesan para segenap orangtua agar tidak menyepelekan sifat-sifat anak. Sebab
fitrah adalah karakter yang dilahirkan. Tugas kita adalah menemukan potensi
tersembunyi dibalik fitrah bawaan itu.
Umar bin
Khaththab memberikan wejangan istimewa yaitu fokuslah pada kelebihan, bukan kekurangan. Misalnya, ada seorang
anak yang cengeng, baperan, mellow abis. Itu artinya anak itu mudah berempati
dan memahami perasaan orang lain. Bisa jadi, dia menjadi psikolog atau penulis
keren di masa depan. Anak yang cerewet, maka potensinya bisa luar biasa. Bisa
jadi, dialah calon trainer, MC, dai/daiyah hebat di masa depan. Anak yang keras
kepala, teguh pendirian, siapa tahu dia adalah calon pemimpin besar. Bahkan anak yang berkarakter ‘mudah curiga’ , juga memiliki
bakat luar biasa sebagai detektif, aparat penegak hukum yang membutuhkan
analisis kuat dan kewaspadaan. Jangan
cabut fitrah dan hak-hak anak, sebab kelak dia menjadi manusia dewasa yang
kekanak-kanakan. Serupa Rasulullah yang membiarkan kedua cucunya bermain di
punggungnya saat shalat, sehingga beliau sujud lamaa sekali. Saking lamanya,
jamaah shalat mengira Rasulullah wafat dalam sujudnya. Ternyata Rasul yang
mulia tak tega memutus kesenangan Hasan Husain di punggungnya. Maasyaa Allah.
Orangtua harus ridha atas fitrah yang
dikaruniakan Allah kepada anak, sebab dengan keridhaan kita, maka ridha Allah
akan turun dan mempermudah kita dalam mendidik mereka. Tak usah risau dengan
rezeki anak, sebab Allah telah menjaminnya. Allah ciptakan anak versi special edition untuk dirinya sendiri. Tak mungkin Allah tidak menciptakan peran
istimewa untuk masa depannya.
Rasulullah
saw telah memberikan teladan yang luar biasa tentang bagaimana menemukan
potensi keluarga dan para sahabat. Maka, dengan kebijakannya, Rasulullah
memilih Khalid bin Walid atau Sa’ad bin Abi Waqqash sebagai panglima perang.
Mengapa bukan Umar bin Khaththab yang garang? Sebab Rasul tahu karakter Umar
yang keras dan temperamental sehingga kurang cocok berada di posisi itu. Mengapa
Rasulullah memilih Mushab bin Umair sebagai duta/delegator? Sebab kepiawaiannya
dalam orasi dan negoisasi, ditambah wajahnya yang rupawan. Mengapa Rasulullah menunjuk Abdurrahman bin
Auf sebagai fundraiser? Sebab Abdurrahman adalah konglomerat yang pandai
strategi bisnis. Setiap manusia beramal menurut fitrahnya masing-masing.
“Katakanlah
(Muhammad), ‘setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing’.
Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (Q.s Al-Isra:
84)
Marilah kita
sejenak berkaca pada seorang ayah yang istimewa. Beliau bukan Nabi, bukan Rasul,
namun dimuliakan Allah menjadi surat dalam Al Qur’an. Dialah Lukman Al Hakim. Sungguh
Lukman diberikan hikmah yang banyak karena banyak
bersyukur. Nah! Inilah masalahnya. Di zaman now yang serba digital, serba
cepat dan praktis, dan serba instan, tanpa sadar membentuk pola pikir yang
‘instan’ juga. Termasuk dalam mendidik anak. Pengennya liat anak tumbuh
berkembang cepat, bisa ini bisa itu, cepat ini cepat itu, bisa bersaing dengan
anak lain, dan sebagainya. itulah ortu yang tak sabar plus lebay dan obsesif.
Lupa, bahwa secara sunatullah semuanya di desain Allah by process. Step by
step. Alam semesta ini juga tidak ujug-ujug ada, bukan? Sebuah analogi
sederhana yaitu semisal kita kepo terhadap tanaman kecil yang tengah mencuatkan
tunas.
“Ini sih
tanaman apa ya?”
Karena
ketidaksabaran melihat si tanaman tumbuh besar, lantas kita kasih pupuk dan air
banyak-banyak. Apa yang terjadi? Sudah dipastikan akar si tanaman akan
membusuk. Dia mati, sebelum potensinya ditemukan. Alangkah ruginya.
Tiada yang kebetulan di muka bumi. Semua yang
diciptakan memiliki maksud penciptaan.
Fitrah adalah kondisi konstitusi dan karakter
yang dipersiapkan untuk menerima agama. Fitrah dilahirkan dan ditumbuhkan, dipadukan
dengan adab diturunkan, dibentuk, dan ditanamkan.
8 Konsep
fitrah yang harus tumbuh semua:
1. Fitrah Keimanan:
Akidah yang kuat
Inilah
fitrah yang paling mendasar. Allah sudah kasih saat bayi lahir di dunia. Ya,
dia menangis sebagai bentuk kepasrahan kepada Rabb-Nya. Kepada Dzat yang
menciptakan. Kepada Dzat yang memberi rizki. Dan sang ibu, adalah perantara cinta
Sang Maha Rahiim dalam awal-awal fase kehidupan si bayi. That’s why, kalau
menyusui jangan disambi pegang hp, misalnya. *duh saya tercyduk lagi. Hiks. Karena
bukan sekadar proses pemberian nutrisi, tapi menanamkan akidah. Bukan semata-mata
ASI yang dibutuhkan bayi. Sentuhan
sayang, tatapan penuh kasih, juga kata-kata lembut akan menumbuhkan bonding dan
attachment yang kuat antara ibu dan bayi. Lebih dari itu, proses menyusui
adalah transfer pesan dari Rabb untuk ibu kepada anaknya. Bahkan di Jepang, ibu
menyusui dibayar oleh negara.
Di usia 3-6
tahun, kenalkan dengan aqidah dengan cara menumbuhkan
cinta dahulu. Karena harus ditumbuhkan cintanya dulu, baru taatnya. Itu mengapa
perintah untuk shalat adalah untuk anak usia 7 tahun ke atas. Di usia 3-6 tahun
ini, buat anak terpesona dengan cerita tentang Allah, keindahan akhlak
Rasulullah. Ciptakan imajinasi yang indah tentang surga. Jika hendak membuat
anak cinta Qur’an, jangan paksa anak bisa dan hafal qur’an. Ajari anak cinta
buku dulu, bisa membaca adalah urusan belakangan. Karena anak yang cinta buku,
akan membaca buku seumur hidupnya. Begitupula dengan Kitabullah.
Tugas kita bukan sebanyak apa mengajarkan
pengetahuan karena ilmu pengetahuan berkembang terus menerus. Tugas kita adalah
menanamkan kepada anak-anak akidah yang kuat sehingga semua persoalan di alam
semesta mereka mampu pecahkan.
2. Fitrah
belajar dan bernalar: keingintahuan modal profesional, inovasi
Lihatlah
bayi. Dia adalah pembelajar yang tangguh, bukan? Dia belajar menangis dengan
berbagai macam ‘nada’ ketika meminta hajatnya. Besar sedikit mampu tengkurap,
lalu berjuang untuk merangkak, duduk, berdiri, lalu berjalan. Ketika dia jatuh,
dia akan bangkit dan mencoba lagi.
3. Fitrah
Bakat dan Kepemimpinan
Nah, menilik
bahasan awal bahwa sadari dan gali potensi anak hingga menemukan bakatnya. Why?
Sebab yang jamak terjadi adalah fenomena ‘salah jurusan’. Merasa bingung mau
kuliah jurusan apa, padahal usia udah melewati akil baligh. Parahnya lagi,
salah jurusan ini bisa berkelanjutan hingga menyebabkan ‘salah karir’. Saat
bekerja, tidak bisa menikmati pekerjaan. Hanya menjadikan bekerja sebagai
rutinitas tanpa makna dan money-oriented.
4. Fitrah
Seksualitas dan Cinta
Maraknya
kasus LGBT adalah akibat dari penyimpangan fitrah seksualitas. Itu versi
ekstrimnya. Versi yang bisa jadi terjadi terkait peran pengasuhan dalam
keluarga, yaitu laki-laki menjadi bapak yang keibuan. Sedangkan perempuan
menjadi ibu yang kebapakan. Hal tersebut meruapakan bentuk ketidaksesuaian
fitrah padahal ortu adalah role model bagi anak-anaknya.
5. Fitrah Jasmani
6. Fitrah Estetika
dan Bahasa
Baiknya anak
dikenalkan dan dimatangkan dengan bahasa ibu. jika sudah menguasai bahasa ibu, baru
dikenalkan dengan bahasa lain. Tujuannya agar anak tidak kebingungan dan dapat
berkomunikasi dengan baik.
7. Fitrah individualitas
dan sosialitas
8. Fitrah
Perkembangan
Yang
dimaksud ‘akil’ adalah dewasa secara psikologis (berakal, mandiri). Sedangkan
‘baligh’ adalah dewasa secara biologis (ditandai dengan haid bagi anak
perempuan, mimpi basah pada anak laki-laki). Dalam islam, anak disebut sudah
baligh adalah saat usaianya kurang lebih 15 tahun. Realitanya, akil dan baligh
memiliki gap/ kesenjangan yang mencolok. Sebagai contoh anak kelas 4 SD (usia
10 tahun ) sudah haid. Sedangkan secara psikologis, ia masih anak-anak/ belum
dewasa bahkan kadang belum mandiri secara pribadi.
Pak Harry
merincikan rentang usia untuk mempersiapkan pendidikan anak yaitu sebagai
berikut:
0-6 tahun (mengokohkan dan merawat fitrah
sebagai konsep fundamental melalui imaji positif dan kecintaan dari keluarga)
Pada usia
ini adalah usia anak dominan bersama ibu. merujuk pada bahasan awal bahwa
rentang usia ini adalah menumbuhkan cinta.
7-10 tahun (Menumbuhkan dan menyadarkan fitrah
sebagai potensi melalui interaksi dan aktivitas di alam dan lingkungan)
Pada rentang
usia ini, mulai diperintah untuk shalat, pembiasaan adab. Anak sudah harus
mandiri secara personal (mandi, makan, ganti pakaian, dll). Pada usia ini,
dekatkan anak laki-laki pada ayahnya dengan melakukan berbagai kegiatan yang
‘cowok banget’ misalnya main bola, naik gunung, camping, mancing, dll agar di
masa depannya anak laki-laki tumbuh sesuai fitrah seksualitasnya. Sementara
anak perempuan dekatkan dengan ibunya. Libatkan dalam kegiatan yang bersifat
‘cewek banget’ misalnya masak, menjahit , merajut, dll agar kedepannya tumbuh
sesuai fitrahnya.
11-14 tahun (menguatkan dan menguji fitrah
sebagai eksistensi peran yang dibutuhkan melalui ujian dan tanggung jawab pada
kehidupan, zaman, dan problematika sosial)
Pada rentang
usia ini peran ortu di-switch. Sebab anak sudah mulai ada ketertarikan dengan
lawan jenis. Anak laki-laki dekatkan dengan ibunya agar ia tahu peran lawan
jenisnya. Kedepannya ia akan tahu cara memperlakukan perempuan/istrinya dengan
baik. Anak perempuan didekatkan dengan ayahnya agar ia bisa menilai
baik/tidaknya seorang laki-laki di kehidupan dewasanya.
Di fase ini,
anak diharapkan sudah mandiri secara sosial. Ortu sudah mulai tegas.
Istilahnya, ayah si raja tega dan ibu sang pembasuh luka. Penting bagi ortu
memberikan tantangan yang membuat anak berjuang, merasakan kesulitan,
kepayahan, dan menikmati keberhasilan demi keberhasilan. Tantangan akan mempercepat akil dan memperlambat baligh. Kurangi
makanan instan serta tontonan dewasa karena itu mempercepat baligh.
> 15 tahun (menyempurnakan fitrah sebagai peran peradaban)
Orangtua
sebagai partner anak.
Sebagai
renungan. Jika kita sibuk mendidik anak 0-15 tahun, setelah 15 tahun kita akan
menuai senyuman. Sebaliknya, jika kita lalai mendidik anak 0-15 tahun, maka
kita akan menuai kesedihan. Kita rindu generasi yang menorehkan sejarah yang
gilang gemilang. Serupa Usamah bin Zaid, sang
panglima perang Tabuk yang memimpin 10ribu pasukan di usianya yang ke-17
. Seumpama Imam Syafi’i yang berfatwa ketika usianya 16 tahun. Seperti Al Fatih
yang menaklukkan konstantinopel di usianya yang ke-21.
Lantas,
bagaimana dengan generasi jaman now ini? inilah peer berat bagi kita semua
selaku orangtua, dimulai dengan menumbuhkan fitrah anak sebaik-baiknya.
Tulisan ini
utamanya adalah sebagai nasihat untuk diri, juga menyampaikan ilmu walau hanya
satu ayat. Semoga menjadi amal yang diterima. Aamiin.
Rumah
Cahaya, 3 Februari 2018
Komentar
Mb tanti: sama sama mbak
Mb vita: aamiin mbak. Semoga Allah ijabah
Butuh kesabaran yg paripurna yaa mba u.menerapkan ilmu ini, smg bisa..
Terimakasih sdh berbagi😊