foto: google
Ramadhan,
betapa tiap tahun kami merindu dipertemukan. Oleh karenanya, kami tak alpa
berbisik dalam doa: allahumma fii rojaba wa sya’bana wa balighna ramadhan.
Penuh harap dalam pinta keoptimisan, agar dipanjangkan usia hingga bersua
Ramadhan mubarok. Alhamdulillah, Allah kabulkan.
Lantas,
masih segar dalam ingatan bahwa kami ingin menularkan spirit yang sama kepada
anak-anak. Mensuasanakan bahwa seakan ada tamu spesial yang hendak datang
bertandang. Bahwa dengan bahagia menyambut Ramadhan, neraka tlah
diharamkan-Nya. Maka rumah dirapikan, segala sesuatunya dibersihkan, ruang tamu
dihias dengan poster motivasi dan balon aneka warna. Indah. Semarak. Membuat
anak-anak tetangga bertanya-tanya: siapa yang ulang tahun, tante?
Ramadhan,
bagi salafus solih, perlu enam bulan untuk mempersiapkan. Sedang bagiku yang fakir
ilmu dan tipis iman ini, hanya sebulan. Itupun tidak full, masih bopeng sana
sini. Mengumpul-ngumpulkan semangat dengan mengingat iming-iming pahala, serupa
pengusaha yang membawa pulang omset milyaran. Mengkondisikan hati agar lebih
berkonsentrasi terhadap detik-detik yang menghadang di depan mata untuk diisi
dengan amalan terbaik.
Laiknya
seseorang yang hendak menempuh perjalanan, sudah semestinya ia berbekal. Bekal
ruhiyah, ilmiyah, jasadiyah, dan maaliyah. Semoga persiapan itu cukup untuk
perjalanan mengarungi samudera ramadhan.
Hari-hari
awal ramadhan, ujian permulaan adalah mengkondisikan anak dengan pola yang
baru. Mengawali malam dengan tarawih 23 rakaat yang ‘berat’ lantaran belum
terbiasa. Membangunkan mereka untuk sahur adalah tantangan yang menguji
kesabaran. Esoknya anak-anak yang bosan dan lapar, memilih bermain ke rumah
tetangga. Pulangnya, saya mendapat curhatan dari si sulung kalau ada si A yang
dengan pedenya makan nasi, minum, dan ngemil di depan dia. Ujian lain, susul
menyusul, seakan tanpa jeda.
Saya
mengurangi waktu saya untuk menulis dan lebih fokus membersamai anak memaksimalkan
waktunya agar tak melulu diisi dengan tidur dan tidur. Membacakan cerita,
membuat prakarya, mengisi buku kegiatan ramadhan, mendampingi tilawah dan
murojaah, serta membubuhkan ceklis berisi target-target. Sering saya merasa
lelah, jika semua tak berjalan sesuai harapan. Tapi saya harus sadar bahwa
kesempurnaan hanya milik-Nya, tak satupun yang sanggup menandingi. Sayapun
masih hamba yang penuh cela dan berlumur dosa. Sungguh rasa-rasanya tak bijak
jika menuntut anak seperti keinginan kita.
Ramadhan
kali ini, membuat saya banyak merenung, tentang kematian. Tentang fananya
kehidupan. Senada dengan judul novel Tere Liye berjudul ‘Daun yang jatuh, tak
perah membenci angin’. Ia—sang daun—tak menyalahkan siapapun yang membuatnya
luruh, hempas di atas tanah. Ia tunduk pasrah pada titah Ilahi bahwa jatah
hidupnya telah berakhir. Lantas, air mata saya merebak mengingat kepergian
seorang saudara seiman, sebulan sebelum Ramadhan menjelang. Padahal beberapa
hari sebelumnya kami sempat bertemu dan bercengkerama bersama. Tak disangka
hari itulah pertemuan terakhir kami dengannya. Kemudian, berita tentang
syahidnya Razan Al Najjar, seorang paramedis Palestina yang ditembak sniper
zionis laknatullah, membuat semesta berduka. Seorang gadis pemberani yang
terjun langsung di lapangan, telah gugur dalam tugas. Calon mempelai yang lebih
dahulu berjodoh dengan maut daripada dengan pasangannya di dunia. Meninggal di
hari jumat, di bulan mulia, hingga ribuan orang turut mengantar jenazahnya ke
peristirahatan terakhir. Siapa yang tak iri dengan Sang Calon Bidadari?
Oh
ramadhan, betapa cepat engkau berlalu serupa anak-nak panah yang terlepas dari
busur. Sementara aku masih di sini. Tertatih-tatih meluruskan niat, memfasih-fasihkan
bacaan qur’an, bersabar dalam rakaat demi rakaat dalam gempuran kantuk yang
teramat sangat. Masih terpancing godaan amarah karena kenakalan kecil
anak-anak. Masih berusaha sekuat tenaga membersihkan hati dari segala penyakit hati
yang menggerogoti. Adakah amalanku yang Kau terima, Ya Robbi?
Lalu di
tengah kepenatan yang melanda, Allah berikan oase penyegar bagi musafir di
padang gersang. Ya, berniat dari iseng pada awalnya, saya menonton siara
langsung di akun instagram Ghaida Tsuraya--putri sulung Aa Gym--bersama umminya,
yang akrab dipanggil teh Ninih. Seorang ibu dan putrinya yang tengah berdiskusi
tentang betapa ajaibnya kekuatan doa orangtua untuk anak-anaknya. Terlebih
seorang ibu, yang doanya menembus langit, tak terhijab. Maka selalu ruahi
ananda dengan doa, kapanpun, dimanapun, dalam kondisi apapun. Bahkan ketika
mulai marah, tetap ‘setel’ diri untuk mengucapkan doa yang baik. Jangan sampai
terpeleset mengucap keburukan. Peluk ananda dengan doa, sebab sejatinya
Allah-lah sebaik-baik penjaga dan pemelihara. Tanpa bimbingan Allah, kita mah
apa atuh ya. Hanya serpihan atom di haribaan semesta. hikss.
Dan hari
ini, jelang ke-25 ramadhan, saya menemukan puisi yang masih terdokumentasi rapi
di dalam folder di laptop. Puisi yang membuat saya tak percaya, pernah
menuliskannya. Semoga puisi ini menjadi muhasabah diri yang memang tampatnya
salah dan lupa.
Ramadhan,
Please…
Kala
Sya’ban berpamit pulang
Kala
setan mengerang menjerit dalam belenggu-belenggu Tuhan
Kala
penanda bilal menyemburat di ujung tebing cakrawala
Pada
semesta kugaungkan cinta “Marhaban Yaa Ramadhan”
Ramadhan
mengukir ibadah, pahala lipat ganda, terijabah doa-doa
Melebur
dalam nuansa, suasana cinta
Seumpama
ceracau ramai anak-anak mengaji iqra’
Tereja
a ba ta tsa gempita membahana
Menyemarak
menjemput gulita
Dan
semesta disepuh remang kala tabuh bedug bertalu
Membumbung
meninggi, mengangkasa
Disusul
gema adzan membingkis lega
Mengabar
bahagia pada kerongkongan kerontang
Dan
lambung kosong memedih perih
Reguk
nikmat dari kucuran barakah mata air firdaus
Tekbir,
rukuk, sujud berkelindan dalam khusyuk penghambaan kudus
Lantas
lisan dimanja dalam lantun bait-bait tadarus
Ramadhan,
dalam jantungmu rindu berdetak, menaut
Akan
bunyi kentongan bersahut-sahut menggugah sahur
Menyiram
pupuk pucuk-pucuk asa
Dalam
hening iktikaf memburu
Keagungan
Lailatul Qadar
Ramadhan,
menisik imanku yang tambal sulam oleh debu-debu dunia
Mengalir
air thaharah dalam jiwa ragaku yang gersang
Mengukuhkan
taqwa dalam lautan kasih sayang
Ramadhan,
please, tahun depan kita berkencan
Semarang, Juni 2014
Semoga Ramadhan tak hanya kita anggap momen tahunan
nirmakna. Namun, bulan penuh rahmat dan ampunan untuk menempa diri menjadi
insan bertaqwa. Aamiin yaa robbal alamiin.
Komentar