sumber: www.mizanstore.com |
Anak kelas 2 SD itu langsung laporan ketika pulang dari
sekolah.
"Mi, besok diminta ustadzah bawa sarung sama beras 2
kilo," ucapnya sambil menyelonjorkan kaki. Mungkin dia harus segera ngomong
sebab emaknya sering mengultimatum bahwa nggak ada edisi dadak mendadak dalam
membawa tugas sekolah.
"Untuk apa kak?" tanya saya penasaran juga. Dia
mengendikkan bahu.
Hmm baiklah. Malamnya saya siapkan beras dua kilo dan ambil
sarung abinya di lemari.
Saat menjelang siang, wa grup wali murid ramai. Tang Ting
Tung! Ternyata ustadzah mengirimkan banyak foto anak-anak yang sedang 'menjadi
Ibu' di hari Senin itu. Para siswi (Annisa) ada yang selonjor kelelahan. Ada
yang menelungkupkan wajah di atas meja. Ada yang membetulkan 'posisi perut'
yang berkali kali melorot. Yang membuat saya geli banget adalah saat para siswa
(Ar Rijal) hanya duduk termangu-mangu di teras kelas. Menatap mupeng para kakak
kelas yang asyik main bola. Tendang
sana, tendang sini sambil tertawa-tawa. Ar Rijal kelas 2 berwajah nelangsa.
Maksud hati ingin main bola tapi apa mau dikata. Ada 'beban amanah' di perut
yang harus dijaga agar tidak melorot. Belum lagi melihat ekspresi adik kelas
dan kakak kelas yang tampak sekuat tenaga menahan tawa.
Ya, baik Annisa maupun Ar Rijal kelas 2 harus menggendong
beras 2 kilo menggunakan sarung yang dililitkan di perut mereka masing -masing.
Selama 5 jam tidak boleh dilepas, meski saat ke toilet, meski sambil makan
siang, meski sambil wudhu dan shalat, meski sambil duduk belajar.
Siang hari, sepulang kakak sekolah, seperti biasa si kakak
langsung berhasrat curhat. Dengan menggebu-gebu (masih dengan seragam merah
putih lengkap) , ia tak sabar cerita. BLA BLA BLA.
'Ya Allah mi ternyata capek banget. Ngganjel. Gak nyaman
banget," keluhnya.
Saya ngikik dalam hati. No interupsi.
"Trus temenku mi. Mau pipis repot banget. Sampai roknya
basah!"
Haha saya mulai geli . Tapi tetep stay cool pura-pura tidak
tahu.
"Trus?" Pancingku.
"Ar Rijal kasihan gak bisa main bola. Banyak yang
ngeluh. Capek. Berat. Setelah mau pulang, itu buntelan dilepas. Rasanya plong
banget," jujurnya.
Alhamdulillah dia bisa menyimpulkan hikmahnya.
"Ternyata umi pas hamil rasanya gak enak banget ya.
Apalagi berbulan bulan".
Saya senyum senyum penuh arti.
Akhir akhir ini kak Fa sedang suka menggambar komik. Dia
juga suka baca komik next G sampai koleksi bukunya (tentu emaknya belinya pas
bookfair lah) wkwkkw tetep ngirit mode on.
"Kak, kenapa nggak cobain kirim cerita ke sini," kataku
memberi ide.
"Gambarku masih jelek mi. Nggak sebagus yang di
komik," tukasnya sambil terus menggambar.
Lantas kujelaskan bahwa dia cukup hanya mengirim dua halaman
gambar atau cerita pendek. Nanti ada kakak ilustrator yang akan menyulap ide
cerita itu menjadi komik yang keren.
Agaknya dia terpengaruh juga.
"Trus ceritanya tentang apa mi?"
"Cari dong ide yang unik. Menarik. Tidak pasaran."
Lantas kuingat kisah tentang 'sarung dan beras' tempo hari
dan kisah kisah lucu dibaliknya.
Tanpa menunggu waktu, ia mengeksekusi kisah nyata itu dalam
bentuk gambar komik. Bersemangat sekali dia, mungkin karena mengalami sendiri.
Jadi berasa mau curhat. Hihi.
Tadaaa! Komik dua halaman itu jadilah. Disetorkannya padaku.
Setelah syarat demi syarat pengiriman terpenuhi, maka kukirim karya kak Fa itu
via pos.
Berbulan-bulan berlalu. Belum ada kabar. Si kakak sudah
mulai tanya tanya kabar naskahnya. Kubilang, kalau kepilih pasti dihubungi
penerbit. Kuminta ia mengirim lagi dan lagi. Terus mencari ide, menggambar, mengirim
lagi. Tak lupa diiringi doa.
Doanya terjawab. Aku dihubungi oleh penerbit via wa. Betapa
gembiranya anak beranak ini. Lalu beberapa pekan kemudian, fee ditransfer ke
rekeningku. Jumlah yang lumayan untuk ukuran anak SD. Alhamdulillah.
Selama menunggu proses terbit, kak Fa berdoa semoga
ceritanya dijadikan cover buku. Dia membayangkan betapa lucu cover bukunya
nanti. Anak SD kok perutnya buncit. Hihi. Impian sederhananya menjelma nyata.
siang ini, pak pos datang membawa sekeranjang keriangan. Dua
buku terbit dikirim penerbit untuk kakak. Wajahnya berseri seri. Gembira,
namanya tercetak di sana. Meski masih buku antologi, ini tetap masterpiece nya
yang harus diapresiasi.
Begitulah sebuah ide. Lahir dari mana saja. Tercipta dari
hal hal sederhana di sekitar kita. Barokallah ya kak. Semoga karyamu membawa
berkah, manfaat dan kebaikan. Aamiin
Rumah Cahaya, 21 Februari 2020
Komentar