sumber gambar: www.idntimes.com |
Miang…
Ia bergolek, lalu menguap lebar. Demi melihat Atri
yang sepagi ini telah bersolek, ia bangkit dari singgasana nyamannya. Dengan langkah
menggoda--pun jelas-jelas mencari perhatian—dihampirinya perempuan bermata coklat
dan berdagu lancip itu untuk meminta jatah pelukan. Pelukan Atri adalah pelukan
paling nyaman yang ia rasakan di pagi pertama ia membuka mata.
“Oh, sayang…”
Atri mendaratkan ciuman di pipinya. Direngkuhnya
kepalanya, lalu diusap-usapnya dengan penuh cinta. Perempuan itu begitu takjub.
Tampak dari manik matanya yang berbinar-binar indah.
“Lihatlah, Pa. Matanya coklat seperti mataku. Hei,
bukanlah bibirnya mungil seperti bibirmu? Ah, kenapa aku bisa terlambat
menyadari…”
Duh, bagaimana
caranya bilang, kalau ia bukan seorang bayi…
***
3 tahun yang lalu.
“Andai saja semua mimpi buruk itu tak menimpaku.”
Atri mendesah, hampir tanpa suara. Tatapan kosong itu tertumbuk pada jendela
lebar dengan tirai minimalis warna hijau muda. Bunga flamboyan warna pink fanta
bergerumbul pada dahan yang meliuk ke arah jendela. Daun-daun yang
mengelilinginya tampak bugar. Kontras dengan duka di hati Atri.
“Ikhlaskan. Tuhan pasti memberi ganti.” Dimas
mengelus pipi pucat itu. Susah payah menahan embun di matanya. Ia sangat mencintai
perempuan di hadapannya itu dan berbagai cara akan ditempuh untuk
membahagiakannya. Bahkan ia bersedia menanggung seluruh rasa sakit Atri, hingga
sumsumnya.
“Tiga tahun kita menunggu. Dengan doa dan air mata.
Ia pernah menyatu dalam ragaku. Cinta untuknya mengalir di sepanjang aliran
darah. Ia ada dalam tiap hela napas, hingga ia pergi, sampai tiga kali.”
Dimas memejamkan mata. Yang tertangkap indera
dengarnya hanya suara detak jarum jam dinding dan tarikan napas Atri. Perempuan
itu tak menangis.
“Aku mendadak benci dengan angka 3.”
Atri mendesah. Cahaya di matanya kian redup. Entah
kemana mata coklat yang biasanya bergemintang itu. Di mana semangat yang biasa
ia tularkan pada Dimas, hingga rumah mereka semarak oleh luapan kebahagiaan? Di
mata Dimas, Atri adalah bidadari yang dikirim Tuhan sebagai hadiah pernikahan,
di usianya yang ke-33. Usia mereka yang sepantar. Konon, 33 adalah usia bidadari
surga. Oh, ia jadi sensi mendengar angka ‘3’. Benarkah angka yang bertubi-tubi
menghampiri lika-liku kehidupannya bersama Atri, adalah perlambang angka sial?
Oh, itu
takhayul. Hari gini masih percaya yang begituan?
Dimas mengejek dirinya sendiri yang jadi paranoid. Otaknya berpindah ke lain
objek. Proyek perumahan yang dibangunnya baru terjual 13 unit. Ia tak sabar
segera mengeksekusi lahan baru yang lebih prospektif. Tapi untuk saat ini
Atri-lah yang menjadi prioritas. Para marketer itu sangat bisa diandalkan. Kinerja
mereka cepat, sigap, dan tepat sasaran. Ya, sebentar lagi cluster Almira selesai
dikonsep dengan matang. Sayang, nama itu gagal tersemat untuk janin pertama,
kedua, dan ketiga yang luruh dari rahim Atri. Pun dalam waktu bersamaan
meluruhkan harapan mereka. Harapan yang mungkin pamungkas. Sebab mereka telah
patah hati bertubi-tubi.
***
“Kau hebat, Sarah! Jurus apa yang kau pakai untuk closing?” Dimas tertawa. Dalam hati
menyimpan salut pada perempuan berambut lurus itu.
“Rahasia.” Sarah mengerling. Disembunyikan
kebanggaan akan pujian bosnya itu di sudut hati terdalam. Calm down, Sarah… semua ada waktunya.
“Kau tak pakai jasa cenayang profesional kan?” Dimas
tergelak melihat cengiran Sarah. Namun, gelak itu tak lama singgah di bibir
Dimas. Bayang Atri melintas. Atri yang pasti kesepian setelah dokter
mengizinkannya pulang. Atri yang rela melepas karirnya sejak jabang bayi
menghuni rahimnya. Rupanya takdir belum mengizinkannya menjadi seorang ibu.
Betapa pentingnya status itu di usianya yang kian matang. Dimas pun rindu
dipanggil ‘ayah’ oleh seorang bocah kecil gendut bernama Almira dengan
panggilan Miang. Atau kalau ia laki-laki, nama Almira cukup diganti dengan
Almer. Oh, nama yang bagus!
Sarah menyipitkan matanya. Sedikit tertegun menatap
bosnya yang tak seperti biasa. “Engg, semoga Atri cepat pulih ya.”
Cih, basa-basi
busuk!
Dimas mengangguk. “Terima kasih untuk perhatiannya,
Sar.”
“Aku tahu sesuatu yang membuat Atri tak lagi merasa
kesepian. Cukup berikan ia seekor kucing.”
“Kucing?” Dimas mengernyit. Masuk akal-kah?
“Manusia dan kucing, mereka punya ikatan emosional,
menurutku sih.” Sarah memelinting rambut di pelipisnya, dengan telunjuknya
sembari mengerling penuh rahasia.
***
“Bukalah.”
Tangan kurus Atri bergerak. Ia terpekik girang
mendapati seekor kucing Persia berbulu kombinasi putih abu-abu. Direngkuhnya
kucing montok itu dalam pelukan. Bulu-bulunya lembut dan tebal. Hidung peseknya
membuat Atri gemas. Wajah innocent-nya
tanpa ekspresi.
“So cute… thanks Papa.”
Semenjak Miang menjadi penghuni baru di rumah itu,
Atri telah jatuh cinta. Kesehatannya membaik. Keriangan menjalari setiap sudut
rumah. Dunia Atri lebih berwarna. Ia bahkan tak mempermasalahkan kesibukan
Dimas di proyek hingga baru sepekan baru menengok rumah. Miang menjadi
kesayangan. Diberikannya Miang fasilitas terbaik. Makanan pun yang termahal.
Dengan telaten, Atri memandikannya dengan air hangat. Mengeramasi si gendut itu
dengan sampo khusus dan menggaruknya dengan lembut. Usai dibilas,
dikeringkannya Miang dengan handuk bersih. Setelahnya, bulu-bulu tebal itu
perlahan mengering oleh semilir hair
dryer. Sebulan sekali, Miang dibawa ke salon. Atri bahkan mengabaikan
perawatan untuk dirinya sendiri.
“Pa, sudah waktunya Miang punya adik.” Atri mengelus
kepala Miang.
“Ehm, maksudnya, anak?” ralat Dimas agak heran. “So?”
“Baby Almer.” Atri mengedip-ngedipkan matanya.
Tak butuh waktu lama hingga mereka tiba di sebuah Petshop. Dimas menatap Atri yang lincah
bergerak kesana-kemari memilih ‘Almer’ untuk ‘Almira’. Menikmati kebingungan
yang mengasyikkan. Pilihan Atri jatuh pada seekor kucing Persia jantan dengan
warna hitam yang dominan. Sepasang mata kucing itu tajam berkilat-kilat. Demi cinta, Dimas rela menggelontorkan dana
jutaan rupiah. Meski diakui, ini adalah sedikit kompensasi akan kesibukannya
akhir-akhir ini, serta sebagian besar waktunya yang dihabiskan bersama Sarah di
proyek.
“Pa, sebentar lagi Almer dan Miang akan menikah.
Rumah kita akan ramai oleh tangis bayi. Mereka akan tumbuh dengan celoteh khas
anak-anak!” kedua telapak tangan Atri menekan kedua belah pipi Dimas, gemas.
Atri, tidakkah
kau pikir tindakanmu ini berlebihan? Obsesif tepatnya.
Atri benar-benar merealisasikan impiannya. Berawal
dari kehamilan Miang, lahirlah keturunan kembar 4 yang lucu-lucu. Atri
membiarkan bayi-bayi itu menyusu pada ibunya selama dua pekan. Setelah masa itu
terlewat, disiapkannya susu khusus serta bak pasir untuk menampung kotorannya. Dua
bulan kemudian, diberinya anak-anak kucing itu makanan padat. Mereka agak
agresif tapi Atri seperti tak pernah lelah mengurus mereka berenam. Senyumnya
yang dulu lenyap, kini terbit lagi.
Sementara Dimas hanya mampu menatap Atri dengan
masygul dari balik layar laptopnya yang sedari tadi menyala. Harapan akan waktu
kebersamaan dengan Atri, pupus. Sebab perempuan itu terlalu sibuk dengan
‘anak-anaknya’. Bercanda, tertawa, menggelitiki perutnya, bahkan mengajaknya
bicara. Apakah obsesi bisa berbanding lurus dengan sakit jiwa?
Dimas termangu-mangu. Kebingungan menata langkah. Diaduknya
rambutnya hingga kusut. Memijit keningnya yang berkerut-kerut. Di puncak
kesemrawutan pikiran, sebuah bola lampu pijar menyala dengan benderang. Aha! Bisa
jadi Sarah punya solusinya.
Atri sudah
keterlaluan!, tulis Dimas di kolom chat dengan Sarah. Aku tak menyangka kalau makhluk lucu itu sekarang menjadi sangat
menyebalkan bagiku.
Separah itu? Tak
takutkah ia pada toxoplasma? Sarah membalas.
Kurasa tidak.
Tapi itu abnormal. Kalau saja aku tak menyetujui idemu
memberikan kucing untuk Atri, pasti
semuanya akan baik-baik saja.
Sarah
menemukan nada kesal dari ketik demi ketik aksara dari chat Dimas. Ia mengetik, sorry
ini di luar prediksiku.
Sarah meremas kertas di telapak tangannya. Sepasang
matanya berkilat. Sebuah rencana bermain-main di benaknya.
***
“Maaf, Anda siapa?” dahi Atri mengerut. Berusaha
menggali memori otaknya tentang perempuan manis berpenampilan kasual, bertopi,
dan berkaca mata di hadapannya itu.
“Saya pecinta kucing,” lugasnya. “Kebetulan beberapa
kali lewat daerah sini dan melihat Anda bersama kucing-kucing itu. Saya pikir
rumah ini breeder.”
Atri tersenyum diplomatis. “Jadi, Anda hendak
membeli salah satu kucing di sini? Oh, sayang sekali. Bagi saya pribadi,
binatang lucu ini bukan untuk diperjualbelikan.”
“Saya bersedia membayar mahal untuk peranakan
menggemaskan itu,” tawar Sarah. Atri terlihat menimbang-nimbang. Sungguh ia tak
butuh uang dari perempuan itu, tapi Atri tak tega melihat raut kesedihan di
hadapannya. Ia menghela napas.
“Hmm, baiklah. Saya beri Anda sepasang anak kucing
ini dengan syarat harus Anda rawat dengan sebaik-baiknya dan saya akan
menjenguknya secara berkala ke rumah Anda. Bagaimana?”
“Oh, anda benar-benar berhati malaikat. Ini alamat
saya. Saya janji akan merawat mereka dengan baik,” Sarah menukas.
Atri mengambil sebuah kandang kucing berukuran
besar. Dimasukkannya Almer dan Miang junior ke dalamnya, setelah mengecupnya
bergantian. “Mama really loves u,”
bisik Atri dengan tatapan sendu.
Sarah tercekat tapi cepat menguasai diri. Benar kata
Dimas, kalau Atri mengidap keanehan. “Terima kasih banyak.”
Sarah berbalik. Anak-anak kucing dalam kandang
mengeong berisik.
Sebentar lagi, kegilaanmu
menjadi sempurna. Ah, semoga saja kau kena parasit toxoplasma. Dan Dimas akan
jatuh dalam genggamanku. Sarah mendesis seiring naiknya power window mobilnya yang menutup
pandangan Atri padanya.
Tak ada yang tahu kecuali Tuhan dan malaikat
pencatat bahwa pengendara mobil sedan silver itu berhenti di sebuah tempat
pembuangan sampah akhir dan serta merta melemparkan kandang kotak itu hingga
berguling-guling entah sampai mana. Ia menepukkan kedua telapak tangannya
seumpama detektif telah menyelesaikan kasus pelik. Ia kembali ke mobil dengan
senyum penuh kemenangan.
“Sampai ke ujung dunia pun, tak kau temukan alamat
palsu itu. Hahaha!” Tawanya puas sembari melepas topi dan kaca matanya.
***
Satu tahun kemudian…
“Pa, kita mau ke mana?”
“Nanti juga tahu.”
“Aku tak mau ke proyek dan bertemu perempuan itu!”
ketus Atri.
“Ada masalah? Bukankah kalian belum pernah bertatap
muka langsung?”
“Tapi dia mirip dengan penipu itu. Oh, Almer dan Miang
Junior, apakah kalian masih hidup?” Atri menutup wajahnya dengan telapak
tangannya.
“Sudahlah. Almer dan Miang kan bisa beranak pinak
lagi,” hibur Denny.
“Tapi perempuan itu pula yang dulu sering
menyambangiku dalam mimpi. Dia mau merebutmu dariku.” Atri diam. Sebentuk rasa
bersalah meretas, menyadari ia sedikit menelantarkan Dimas demi ‘anak-anak’.
“Kau bisa mengetes seberapa besar kesetiaanku.”
Dimas menatap Atri lembut.
Mobil yang mereka tumpangi melewati jalan yang
menanjak, berkelok-kelok. Tibalah mereka di sebuah tempat. Rumah yang lapang
dan asri di areal pegunungan. Beberapa kucing Persia berlari-lari menyambutnya.
“Selamat ulang tahun pernikahan keenam.”
Atri menghambur ke pelukan Dimas. Keharuan menyergap
dadanya.
“Makasih, Pa.” Dikecupnya pipi Dimas dengan riang.
Atri berjongkok. Mencium kucing-kucing itu satu per
satu. “Hei, kalian akan jadi teman baru Miang, Almer, dan si kembar dua.”
Kucing-kucing itu seakan paham apa yang dikatakan
Atri lewat sentuhan tangannya yang lembut pada bulu-bulunya.
“Kalian tahu, Almer dan Almira pernah kehilangan 2
anaknya. Mereka sedih tapi kuat. Dua kembarannya yang lain tumbuh sehat. Mereka
akan menjadi saudara baru kalian.” Atri tersenyum lebar dan bertepuk tangan.
Matanya kembali berbinar-binar penuh semangat.
Untuk kedua kalinya Dimas menemukan senyum itu lagi.
Senyum lepas, bebas, dan tulus seorang perempuan yang rindu akan perhatian.
Yang haus kasih sayang. Yang tegar seperti batu karang dihempas gelombang. Dan
secara kodrati, cinta akan selalu diuji oleh perkara melepaskan dan mendapatkan
yang lebih baik.
***
Komentar