gambar: olx.co.id |
Suka
menulis dan ingin menjadi penulis?
Hmmm, itu hobi saya sejak zaman SD, saat lagi nge-hits
korespondensi sama sahabat pena dan ngirim surat buat artis cilik. Lalu, saat
SMP sudah mulai punya buku harian yang saya tulis dengan bahasa inggris ala
kadarnya dan digembok pula—sok iyes banget pokoknya lah. Zaman SMA dan masuk
jurusan bahasa, mulai deh baca buku sastra, dan coba-coba nekat mengirim puisi
ke majalah sastra Horison walau hasilnya zonk!
Masuk kuliah, kembali nulis diary sampai punya sekitar 7 buah buku harian. Lalu
setelah kerempongan PPL, KKN, skripsi itu saya vakum nulis sampai bertahun
lamanya. Geliat nulis kembali melanda saat saya sudah nikah dan jadi mahmud
abas—mamah muda anak baru satu—dan tengah hamil anak kedua. Berawal dari ikutan
lomba nulis di fb, lalu ketagihan dan nekat terus nulis sampai sekarang, insyaa
Allah. Semoga terus diberikan kemudahan dalam berkarya. Aamiin.
Maka yang dapat saya definisikan dari seseorang
berpredikat ‘penulis’ adalah manusia cerdas berperadaban tinggi yang mampu
menuangkan gagasan dan inspirasi untuk jalan-jalan kebaikan dan kemaslahatan
umat manusia. Menandai bahwa dia bukan suku primitif yang illiterate—buta huruf dari zaman pra-sejarah. Dia berkiprah dalam
pengembangan ilmu yang semoga di setiap ketik hurufnya mengalirkan pahala meski
nantinya jasadnya terkubur dan tinggallah nama.
Ah, betapa
hebat definisi penulis yang saya tanamkan lekat-lekat dalam kepala, plus di-bold, italic, dan underlined. Betapa agung profesi yang membebaskan kaum manusia dari
kejahiliyahan, dan betapa berat konsekuensinya dunia akhirat. Semoga para
penulis dimanapun berada selalu dibimbing-Nya menuliskan kebenaran dan berdiri
di garda depan untuk siap menjadi teladan dari kebaikan yang telah dituliskan.
Jika jatuh
cinta pada seseorang tak perlu alasan, maka harus ada alasan untuk jatuh cinta
pada aktivitas menulis. Mengapa? Sebab—sorry
to say—bahwa menulis sama sekali bukan pekerjaan mudah. Menulis adalah
kolaborasi otak kanan yang dinamis, mengalir, dan kreatif dengan otak kiri yang
teliti, sistematis, dan rapi. Menulis adalah skill yang harus terus diasah terus-menerus untuk menjadi mahir.
Untuk menjadi seorang maestro kata-kata sekaliber Dee Lestari, Tere Liye, atau
Andrea Hirata, tak bisa langsung sim salabim, bukan?
Nah, ini alasan saya mengapa insyaa Allah terus bertahan
dalam dunia kata-kata ini.
1. Menulis adalah terapi
paling efektif.
Pengalaman getir, gelegak emosi, buncah rasa, dan aneka
pernak-pernik ujian hidup terkadang meninggalkan rasa sesak yang sulit
terhapuskan. Setelah berupaya untuk lebih mendekat pada-Nya, maka menulis
menjadi obat mujarab untuk membantu mengenyahkan sesak itu. Ambil kertas dan
pena, lalu tumpahruahkan semua ganjalan. Tak perlu berpikir bagus atau tidaknya
tulisan corat coret itu. Yang terpenting, segala rasa tak nyaman yang kita
rasakan itu perlahan menghilang dan kita pun merasakan kelegaan luar biasa.
2. Menulis adalah berjuang
dalam amar makruf nahi munkar.
Terinspirasi dari hadist Nabi yang berbunyi: jika melihat
kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Apabila tak mampu, maka hendaklah
dengan lisannya. Apabila tak mampu lagi, maka ubah dengan hatinya, sesungguhnya
itu selemah-lemah iman. Ya, saat tak punya kemampuan untuk ‘mengubah’ dengan
tangan dan lisan, maka masih ada peluang.
Menyampaikan kebenaran dan memerangi keburukan dengan jalan menulis
dengan hati. Menyuarakan suara mesti tak didengar. Berjuang dalam tiap ketik demi
ketik aksara, dalam diam. Tapi bukankah ‘pena’ lebih punya kekuatan daripada
‘otot’?
3. Menulis membebaskan
imajinasi.
Dengan menulis, kita bisa menjadi apapun dan siapapun
yang kita inginkan, semisal seorang florist
yang tergila-gila pada anggrek, lelaki difabel yang bersemangat, orangtua yang
terkejut saat anaknya yang baru lulus TK terjerat cinta monyet, atau seorang
anak kecil yang menginginkan semua berubah menjadi pink. Menulis membangkitkan sisi kreativitas tanpa batas, mentunaskan
ide-ide cemerlang, dan mengeksekusinya dengan cara paling menyenangkan.
4. Menulis menggendutkan pundi-pundi
kas keluarga.
Setiap penulis bebas men-setting goal finansial dalam menulis. Pun tak ada yang salah
menjadikan aktivitas menulis sebagai hobi yang berbuah rezeki. Soal niat, hanya
Allah yang tahu. Toh, untuk menghasilkan karya berkualitas juga butuh banyak
modal: laptop, buku-buku referensi, kuota internet, amunisi wajib berupa bercangkir-cangkir
kopi dan bertoples-toles camilan, juga anggaran untuk jalan-jalan / kulineran
sebagai bagian dari riset. So, wajar bukan kalau transferan royalti menjadi
sesuatu yang membuat hati seorang penulis berbunga-bunga?
5. Memberikan kepuasan batin
yang sangat berharga.
Dalam mengawali proses menulis buku, tentu kita perlu
brainstorming ide, mematangkan konsep,
membuat outline, menyiapkan buku-buku
penunjang dan narasumber, baru bisa masuk proses menulis yang aduhai itu. Sesuai
pengalaman saya, rangkaian proses itu tak cukup hanya ditempuh dalam hitungan
hari, tapi berminggu-minggu sampai berbulan-bulan (asal tidak kelewat dateline). Kesabaran dan ketekunan
menjalani proses itulah yang begitu bernilai. Ada sesuatu yang pasti kita
dapatkan selama proses panjang itu berlangsung, semisal saat narasumber mengisahkan
penggal ujian hidup yang getir, hal itu melatih diri untuk lebih bersyukur.
Terkadang tanpa sengaja kita menemukan emas di jalanan berpasir yang tengah
ditempuh dengan susah payah. Fase membahagiakan dan melegakan itu adalah ketika
berhasil menyelesaikan tulisan sampai akhir, dan merasakan kepuasan tak
terhingga. Sebuah pengalaman batin yang tak dapat ditukar dengan apapun.
6. Menulis mempersembahkan
hadiah bagi peradaban.
Kalimat sakti sastrawan Pramoedya Ananta Toer agaknya
mewakili visi menulis versi saya: mewariskan karya untuk peradaban. Serupa
Kartini yang mengabadi dalam sejarah karena tulisan, sayapun ingin dikenang
lewat tulisan, minimal oleh keluarga dan anak cucu saya.
Tips menulis:
1. Tekad kuat untuk menjadi
penulis
Sebaiknya ajukan pertanyaan ini pada diri sendiri:
Mengapa dan untuk apa saya menulis? Silakan jawab dengan sejujur-jujurnya, apa
sesuatu yang menggerakkan tangan untuk menulis? Nah, jika sudah ketemu
jawabannya, maka mulailah dari langkah pertama dan nikmati setiap jengkal prosesnya,
sepayah dan sesulit apapun. Sebab tanpa tekad dan motivasi yang kuat, kita akan
setengah-setengah dalam menjalaninya, bukan?
2. Meluangkan waktu untuk
menulis.
Saya pernah
membaca sebuah buku tentang jam biologis para penulis dunia. Mereka yang memang
telah memilih menulis sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup, punya jam
terbang menulis yang gila-gilaan. Dan menurut saya memang sudah semestinya
begitu. Kesibukan yang tiada habisnya itu akan selalu ada, setiap hari, selama
seminggu, sebulan bahkan dalam hitungan tahun. Jika memang ingin menulis, harus
berani mencuri waktu di sela-sela kesibukan itu dan berkomitmen untuk tetap
menulis setiap hari walau sedikit. Tere Liye, sang novelis over-produkif itu
ternyata juga seorang karyawan di sebuah perusahaan lho. Jika sibuk, bisa
dicoba pola menulis yang serupa pola makan ibu hamil: sedikit tapi sering. Tak
harus konsen menghadap laptop, coretan ide di kertas bekas bungkus nasi Padang
pun bisa. Ingat pepatah ‘sedikit demi sedikit lama lama jadi bukit’, kan?
3. Apa yang ingin kau tulis?
Banyak
sekali jenis tulisan yang bertebaran di muka bumi ini. Ada yang fiksi berupa
cerpen, puisi, novel, novelet, cerpen, cerbung, hikayat, dongeng, legenda,
hingga skenario. Ada non fiksi seperti memoar, biografi, kisah inspiratif, dan
lain-lain. Ada banyak genre yang bisa dipilih seperti komedi, horor, fantasi, science fiction, lokalisme, dan lain
sebagainya. Sebagai langkah awal, mulailah dari yang sederhana. Jika sasaran
tulisan adalah lomba cerpen, maka banyak-banyak membaca cerpen bagus yang
langganan juara. Jika sasaranmu adalah lomba blog, maka kepoin gaya tulisan dan tampilan blog para blogger yang sering menang. Pakai ilmu ATM: amati, tiru, modifikasi,
tapi say no to plagiasi!
4. Miliki target, patuhi dateline, dan berani kirim.
Nah ini yang menuntut kepastian seumpama mantan minta
balikan #eh. Target adalah bukti pasti bahwa kita serius terjun dalam dunia
literasi. Lebih spesifik, adanya dateline
membuat semangat terpacu untuk menyelesaikan naskah hingga ending, hingga tak ada lagi nasib naskah menggantung di tiang
jemuran #eh lagi. Dan yang terpenting setelah naskah kelar dan fix adalah berani kirim ke
media/penerbit yang kita incar. Pede saja. Perkara ditolak adalah urusan
belakangan. Itu berarti harus sabar dan mau terus belajar. Yang terpenting
adalah berani melamar. Maju terus meski laparr. #serius saya lapar saat ngetik
ini.
5. Gabung komunitas dan
berkolaborasi dengan teman
Alangkah baiknya jika penulis dan calon penulis dimanapun
berada, bergabung dalam komunitas menulis, baik di dunia maya maupun dunia
nyata, tapi please jangan di dunia
lain. Sebagai newbie, join dalam komunitas, terasa banget
manfaatnya. Dapat bocoran ilmu, tips menulis, info lomba, info lowongan naskah
di penerbit X, sharing kegiatan, projek
antologi, dsb. Keuntungan lain adalah kita tak merasa sendiri sebagai penulis
yang identik dengan dunia sunyi. Next,
jika kemampuan menulis kian terasah, tapi belum pede juga untuk bersolo karir, maka
coba pedekate dengan teman sesama penulis yang sudah lebih dulu menerbitkan
karya. Siapa tahu ditawari nulis duet, trio, kuartet dengan teman penulis
tersebut. Dengan begitu, jalan untuk menjadi penulis akan terbuka lebih lebar.
6. Read a lot. Write a lot.
Ini sudah pakem. Sudah aturan baku alias tak bisa
ditawar-tawar lagi bagi mereka yang sudah mantap berada di jalur menulis. Sebab
membaca dan menulis layaknya pasangan yang saling melengkapi dan tak
terpisahkan #eaaa. Jika menulis seumpama menuangkan minuman dari teko ke dalam
cangkir, maka pastikan teko itu berisi minuman berkhasiat dengan komposisi yang
tepat sehingga menghasilkan cita rasa yang nikmat bagi peminumnya. Begitu pula
dengan menulis. Semakin penulis rajin membaca, maka dia akan semakin ‘kaya’
sebagai modal untuk membahagiakan pembaca. Anda sepakat, bukan?
Nah, tunggu apalagi. Mulailah menulis dan wariskan karya
untuk peradaban!
#noteformyself (penulis yang masih tertatih belajar)
www.arindashafa.com
Komentar