Keseruan One Day Trip ke Curug Gending Asmoro, Kampoeng Rawa, Bukit Cinta, dan Agrowisata Gunungsari
Assalamualaikum,
kawans
Apa kabar? Semoga di masa pandemi yang entah kapan usai ini, kita selalu diberikan kesehatan fisik dan mental. Menjaga kesehatan fisik dengan konsumsi makanan sehat bergizi, olahraga teratur, minum air putih 8 gelas per hari, nggak sering begadang, dan terapkan protokol kesehatan jika keluar rumah. Menjaga kesehatan mental juga penting banget lho. Selalu positive thinking, bersyukur dan bahagia. Ada pepatah mengatakan, hati yang bahagia adalah obat. Kadangkala penyakit fisik bisa berawal dari stress, misalnya. So, beware ya dengan stress yang berlarut-larut dan kurang dikelola dengan baik. Coba kenali dan cari solusinya.
Menurut saya, me time itu penting. Me time itu kebutuhan. Setelah berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan terjebak rutinitas yang monoton, tentu lelah, emosi, bosan terakumulasi jadi satu. Terkadang bisa tilawah atau baca buku tanpa diganggu keriuhan adalah me time yang membahagiakan. Kadang main ke rumah teman sebentarpun, bisa jadi me time yang asik. Bahkan kalau pas ngobrol sama pasangan pun, kita menyepakati adanya me time untuk diri masing-masing, couple time, dan family time. Sederhana saja, tapi bermakna.
Alhamdulillah, setelah dapat ACC pak suami, saya bisa ber-me time ria. Hihi. Me time kali ini bareng teman-teman dari dinas pariwisata, blogger, jurnalis, dan duta wisata Kab. Semarang. Sesuai itinerary, kami berkumpul di gedung dinas pariwisata yang berlokasi di Gedanganak, Ungaran.
Memang pandemi mengubah segala aspek kehidupan, termasuk dalam sektor pariwisata. Hal itu tentu berimbas pada usaha kecil menengah dan hal lain yang selama ini di-support oleh sektor pariwisata. Namun, sudah saatnya semua bangkit. Tidak boleh menyerah karena covid-19. Di era adaptasi kebiasaan baru atau new normal ini, kita tetap bisa bepergian. Tentu dengan tetap mematuhi protokol kesehatan yaitu 3M plus; memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak dan menjaga daya tahan tubuh agar tetap fit.
Setelah sambutan dan briefing singkat, kami berangkat sekitar pukul 9 pagi. Ada empat destinasi yang akan dikunjungi yaitu Curug Gending Asmoro, Kampoeng Rawa, Bukit Cinta, dan Agrowisata Gunung Sari.
Curug Gending Asmoro
Curug
atau air terjun ini terletak di desa Kalongan, Ungaran Timur. Keberadaan curug
ini memang di tengah-tengah hutan. Sebelum masuk ke lokasi, tetap dicek suhu
tubuh dan jaga jarak. Jalan menuju curug terdapat anak-anak tangga yang banyak.
Jalan sudah dibeton sehingga tetap nyaman digunakan para pengunjung. Di sana
juga dilengkapi fasilitas seperti toilet dan mushala. Di areal curug terdapat
tiga buah mata air. Menurut Mbak Isna, humas desa wisata Kalongan, ada tradisi
yang tidak boleh ditinggalkan di desa ini. Setiap kali ada warga yang mau
mengadakan hajatan (pernikahan, pagelaran wayang), maka wajib mengambil air di
mata air tersebut sebagai ‘syarat’. Budaya tersebut sudah turun-temurun sejak
dulu.
Sambil
jalan pelan-pelan dan menikmati suara alam yang khas, sampai juga kami di curug
Gending Asmoro. Curug yang diresmikan sejak tahun 2017 ini berasal dari aliran
sungai Kresek. Untuk menuju ke arah curug, kami melewati jembatan anyaman bambu
yang dicat warna-warna cerah. Di bawahnya bebatuan besar saling menonjol. Air
curug mengalir di sela-sela bebatuan hingga menimbulkan suara gemericik yang
mendamaikan hati. Di musim kemarau ini, debit airnya jauh berkurang. Saat musim
penghujan, aliran air deras sekali.
Setelah
puas menyimak penuturan Mbak Isna, juga puas mengambil foto, kami beranjak
pulang. Wow, tanjakan dengan anak-anak tangga membuat saya, Mbak Hany, Mbak
Wahyu, Mbak Marita yang sesama emak blogger, ngos-ngosan. Ketahuan banget deh
jarang olahraga jadi napas putus-putus. Lutut juga gemetar. Kalau pak suami di
sini pasti ngetawain saya, gitu kok ngeyel mau ikut muncak. Hihi.
Untuk
tiket masuk curug cuma 5 ribu rupiah saat weekdays dan 10 ribu rupiah saat
weekend. Rasakan eksotisme curug Gending Asmoro dan alam asri desa Kalongan. Oh
ya, selain wisata curug, tahun ini desa wisata Kalongan juga menawarkan paket wisata
edukasi untuk anak-anak. Ada paket wisata edukasi D’Sawahan, D’Alaska, D’Curug,
D’Kandang, D’Kayangan, plus paket Camping dan study banding. Serunya lagi,
setiap Minggu Pahing dan Minggu Legi ada Pasar Sawahan, semacam pasar tiban
yang digelar di sepanjang Jalan Nakula Kalongan. Menjajakan aneka kerajinan
bambu, kuliner tradisional, dan lain-lain serta berkomitmen dalam gerakan minim
sampah plastik. Keren yaa.
Sebelum
lanjut ke destinasi berikutnya, kami diajak mampir ke Kayangan Tebing Al fath. Tetap
dengan protokol kesehatan dan cek suhu tubuh sebelum masuk. Di dekat pintu
masuk, terdapat bangunan rangka masjid yang bernama masjid Al Fath. Di depannya
ada kolam renang yang membuat saya pengen banget nyebur saking bening dan
birunya. Di tengah kolam renang ada dua saung yang saling terhubung. Di sana
kami disuguhi menu istimewa yaitu dawet jagung khas desa Kalongan, aneka jajan
pasar seperti klepon, jendolo, minas, mentho yang rasanya enak dan khas banget. Terima kasih atas keramahan dan
sambutan hangatnya.
Kampoeng Rawa
Kampoeng Rawa terletak di Jalan Sarbini km.3 Ambarawa. Tepat di ruas jalan lingkar Ambarawa. Potensi yang ditonjolkan adalah restoran apung dan wisata air. Tetap dong dengan mematuhi protokol kesehatan. Masker enggak lepas meski rasanya pengap. Hihi.
Setelah foto bareng, kami langsung menuju perahu motor yang tertambat di tepi rawa. Satu per satu dari kami naik ke atas perahu. Satu perahu hanya muat tujuh orang. Delapan orang dengan bapak yang mengoperasikan perahu motor. Cukup merogoh kocek 100 ribu untuk menikmati keindahan danau Rawa Pening yang eksotis. Alhamdulillah cuaca sangat cerah. Birunya langit yang berhias awan-awan putih, senada dengan warna gunung yang hijau kebiruan. Air danau yang berwarna agak kecoklatan, matching juga dengan hijaunya enceng gondok yang mengapung di permukaan air. Perahu melaju dengan kecepatan sedang. Air tersibak menjadi gelombang-gelombang. Tangan bisa dengan mudah menyentuh segarnya permukaan air danau sebab jaraknya hanya beberapa jengkal dari tepi perahu tempat kami duduk. Kalau dilihat dari atas, Rawa Pening ini serupa cawan raksasa yang dikelilingi gunung-gunung yaitu Telomoyo, Merbabu, dan Ungaran. Beberapa nelayan tampak bekerja di atas perahu.
Setelah
puas berkeliling danau, acara dilanjut dengan shalat dan makan siang. Untuk
menuju resto apung, kami harus menyeberang dahulu dengan papan terapung yang
ditarik menggunakan tali. Resto apung berbentuk joglo yaitu rumah adat Jawa
Tengah yang dibuat menggunakan kayu dan bambu. Diberi nama apung sebab
tempatnya sengaja dibuat terapung di atas tepian danau Rawa Pening. Di bawah
papan-papan yang digunakan sebagai lantai resto, terdapat tong-tong besar yang
diikat kuat. Tak heran jika kita berjalan di area resto, akan terasa
bergoyang-goyang. Unik ya.
Di
resto Kampoeng Rawa menawarkan menu olahan ikan seperti kakap, gurami, bandeng,
dll. Masakan tradisional juga tersedia
di sini. Sempat menikmati segarnya sup dan tumis bengok khas setempat. Bengok
adalah semacam tanaman yang tumbuh di sawah/rawa yang mirip dengan enceng
gondok. Biasanya dimasak dengan ditumis. Aih, betapa syahdunya makan siang
dengan view memanjakan mata.
Kampoeng
rawa juga memiliki banyak fasilitas seperti pendopo mushola, toilet yang
bersih, wahana permainan anak, terapi ikan, dan warung yang berjajar menjajakan
dagangan berupa oleh-oleh khas Ambarawa dan aneka souvenir. Karena kami datang
saat weekdays, maka pengunjung tidak
seramai saat weekend. Yuhuu, next
time datang ke sini lagi bareng keluarga, terutama anak-anak yang envy saat emaknya naik perahu motor.
Hehe.
Bukit Cinta
Sejak saya kecil, saya sudah familiar dengan objek wisata bernama Bukit Cinta. Itupun akibat dengar-dengar kakak remaja tentang mitos Bukit Cinta. Konon katanya, kalau sejoli yang nge-date kesana, hubungan mereka bakalan kandas alias putus. Namanya juga mitos, orang boleh percaya atau nggak percaya.
Sekitar
tahun 2012, saya pernah ke Bukit Cinta bareng suami dan teman-teman. Kami memandang
rawa yang dipenuhi enceng gondok. Seingat saya, kami juga masuk ke dalam
bangunan gua yang menyerupai ular raksasa. Sangat berbeda jauhh dengan Bukit
Cinta dengan wajah baru saat ini. Sekarang sudah direnovasi apik dengan style kekinian. Di dekat gerbang masuk
terdapat tulisan Bukit Cinta yang ditulis dengan aksara jawa. Area parkir juga
luas dan nyaman. Di sebelah kiri sebelum masuk ke lokasi, ada deretan penjual
aneka souvenir, oleh-oleh, dan makanan. Penataannya begitu rapi dan bersih.
Sebelum
masuk ke objek wisata, pengunjung harus memakai masker, lalu mencuci tangan
dengan sabun di tempat yang tersedia. Harga tiket masuk adalah 10 ribu rupiah
saat hari biasa, dan 15 ribu rupiah saat akhir pekan.
Melewati pintu masuk, kami langsung disambut oleh penampakan patung besar berwarna putih. Patung itu mewakili kisah Baru Klinthing yang menjadi legenda terjadinya danau Rawa Pening. Baru Klinthing sendiri merupakan sosok ular naga besar yang berkalung lonceng (klinthingan dalam bahasa Jawa). Sang naga ingin bertemu dengan sang ayah (Ki Ageng Salokantara) yang sedang bertapa di gunung Telomoyo. Ibu Baru Klinthing membekali sebuah lonceng di leher Baru Klinthing sebagai bukti kepada sang ayah bahwa ia benar-benar putranya. Namun, sang ayah masih menguji Baru Klinthing untuk memutari gunung Telomoyo dan ia berhasil.
Cerita berlanjut saat Baru Klinthing telah menjelma sebagai bocah. Dalam pengembaraannya, ia kelaparan dan meminta makan kepada penduduk desa. Sayang, semua warga menolak Baru klinthing karena jijik dengan kulitnya yang bersisik-sisik. Hanya seorang nenek yang bersedia memberi makan. Baru Klinthing makan dengan lahap dan berpesan pada si nenek untuk menyiapkan lesung. Baru Klinthing akhirnya berdiri di tengah warga untuk membuat sayembara. Ia menancapkan sebuah lidi dan meminta siapa saja untuk mencabutnya. Sayang, lidi itu tetap bergeming saja di tempatnya. Akhirnya Baru Klinthing sendiri yang mencabutnya. Bekas cabutan lidi tersebut memancarkan mata air yang lama kelamaan semakin banyak. Semua warga tenggelam kecuali sang nenek yang menolong Baru Klinthing tadi. Tersebab air semakin melimpah, maka di tempat itu menjadi danau yang dikenal dengan Rawa Pening—Danau yang airnya bening.
Di sebelah kiri pintu masuk ada relief yang menggambarkan legenda tersebut. Legenda itu patut diceritakan kepada anak-anak agar memperoleh pelajaran tentang sikap suka berbagi dan rendah hati.
Oh
iya, di Bukit Cinta ini ada banyak fasilitas juga lho seperti mushola, toilet,
tempat bermain anak-anak, gardu pandang, kursi-kursi taman, dan wahana air
perahu motor. Kalau lelah, bisa kok hanya duduk-duduk di hamparan rumput
sintetis sembari menatap indahnya Rawa Pening dari dekat. A must visit nih.
Agrowisata Gunungsari
Setelah asyik mengabadikan momen dalam bentuk foto dan video, kami bertolak ke destinasi terakhir yaitu Agrowisata Gunungsari Kopeng. Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam dari Bukit Cinta. Maksud hati ingin terlelap sebentar untuk men-charge energi namun apa daya malah melek dan pengen nyanyi lagunya ninja Hatori. Hihi.
Saat keluar mobil, hawa dingin langsung menyergap. Rupanya kami sedang berada di ketinggian 1450 mdpl yang berlokasi di Kopeng, kecamatan Getasan, Kab. Semarang. Jaraknya sekitar 18 kilometer dari Kota Salatiga. Searah dengan jalan menuju basecamp pendakian gunung Merbabu via Cunthel. Langit cerah ceria tapi suasanya adem dan tenang. Satu per satu dari kami mengantri untuk cek suhu tubuh lalu mencuci tangan di keran yang sudah tersedia. Cukup merogoh kocek 20 ribu rupiah untuk orang dewasa dan 10 ribu rupiah untuk pelajar dan anak-anak. Objek wisata yang mulai dibangun bertahap sejak tahun 2017 ini sungguh instagramable.
Di kanan kiri, pohon jambu yang rindang menaungi. Setelah berjalan kurang lebih 200 meter, kami dibuat takjub oleh pemandangan yang tersaji di depan mata. Sebuah gunung menjulang. Benar-benar tampak keseluruhan tubuhnya. Semakin dekat hingga pagar pembatas, Telomoyo makin gagah. Dari situ, atap-atap rumah penduduk serupa kotak-kotak kecil yang bertebaran di berbagai penjuru. Maasyaa Allah…
Saya dan beberapa rekan memutuskan untuk shalat asar kemudian lanjut mengambil dokumentasi. Saat mengambil air wudhu, nyesss… persis saat pegang air kulkas. Syaraf-syarat di tubuh langsung aktif.
Usai shalat, saya dan Mbak Marita langsung menuju ke jembatan untuk mengambil view gunung. beberapa pengunjung juga tampak berfoto-foto ria dengan background yang cantik itu. Yang paling seru adalah saat mencoba naik di gardu pandang. Gardu itu terdiri dari 4 lantai dan terbuat dari bambu-bambu besar yang diikat dan divernis halus. Atapnya dari ijuk. Untuk naik ke lantai satu hingga atas, kami harus naik tangga vertikal. Harus pegangan kencang apalagi kita pakai gamis. Haha. Dan pengorbanan kami tidak sia-sia. View gunung merbabu pun tampak keren dari kejauhan. Tidak ada kabut jadi penorama semakin anggun di syahdunya langit sore. Ini kalau senja bakalan indah banget tapi nggak mungkin sampai senja karena sebentar lagi kita harus cek out dari sini.
Kamipun
turun dengan hati-hati. Kemudian dilanjut menuju saung tempat semua berkumpul
untuk beramah tamah. Sepiring penuh mendoan panas plus sambal kecap dan teh
panas, melengkapi sore itu. Sore yang belum-belum sudah membuatku kangen ingin
kembali.
Waalaykumussalam
wr wb.
Patemon,
1 Oktober 2020
Komentar