Webinar Parenting 'Menggairahkan Spirit Belajar Anak di Masa Pandemi' bersama ibu Sukmadiarti Psikolog
Assalamualaikum dear parents,
Semoga semua stay healthy di masa pandemi ini ya. Aamiin.
Alhamdulillah di
hari Sabtu tanggal 24 Oktober 2020 kemarin, mendapat kesempatan menimba ilmu
melalui kelas parenting virtual yang diselenggarakan oleh SDIT Mutiara Hati
Semarang. Acara yang diikuti oleh wali murid ini mengambil topik yang sangat
menarik yaitu Menggairahkan Spirit
Belajar Anak di Masa Pandemi. Seperti yang kita tahu, bahwa pandemi ini
memiliki dampak yang sangat luas di berbagai bidang. Tidak terkecuali bidang
pendidikan. Namun, delapan bulan berlalu, kiranya kita harus tetap beradaptasi
dengan perubahan dan bersemangat dengan tantangan membersamai proses belajar
ananda di rumah.
Proses KBM berpindah dari sekolah ke
rumah dan tugas pendidikan kembali kepada orangtua, membuat orangtua tidak siap,
bingung, galau, dan sebagainya. Mengkondisikan anak untuk stay tuned dalam belajar
adalah tantangan terbesar. Godaan tayangan televisi, teman, tetangga, dan gawai yang melambai-lambai, membuat anak
nggak konsen. Dan akhirnya memilih mengabaikan belajar demi kesenangan
tersebut. Kalau sudah begini, puyeng deh ortunya. Hehe.
Sebagai orangtua, peran kita sangat dibutuhkan dalam mengoptimalkan potensi anak. Potensi tersebut harus digali, ditemukan, dan terus diasah secara kontinyu. Salah satu caranya adalah dengan stimulasi pada tiga aspek yaitu: akal, fisik, dan emosi. Akal, dengan membaca, belajar, berpikir, menemukan solusi. Fisik, dengan bergerak, berolahraga, berkegiatan outdoor. Emosi, dengan rasa cinta, kasih sayang, perhatian, waktu kebersamaan, dll.
Poin terakhir merupakan bahasan yang
sangat vital. Bagaimana cara memanajemen emosi pada anak, sementara orangtua sendiri
juga masih berjibaku dengan problem yang menguras emosi? Hehe. Berarti kitanya
dulu yang juga harus menyetel emosi agar stabil. Agar bahagia. Sebab hanya
orangtua yang bahagia yang bisa membuat anak bahagia.
Mari mengutip quotes dari Gary Chapman
dalam bukunya Lima Bahasa Cinta:
“Dengan mengisi tanki emosional anak dengan cinta, orangtua akan lebih mudah mendisiplinkan dan melatih anak dibanding jika membiarkan tanki emosionalnya kosong”
Lantas, apa yang membuat tanki
emosional anak terisi?
Ya, penuhi hak anak dahulu akan cinta, kasih sayang, perhatian, dan
rasa aman. Seringkali orangtua menuntut anak untuk belajar, sementara mereka
belum mendapatkan haknya. Wajar kalau anak merasa terpaksa, kesal,
malas-malasan dan sebagainya. Dan kita sebagai orangtua, juga jangan lupa
mengisi ‘tanki emosional’ kita sendiri. Bagaimana caranyaa? Ssstt terus baca
tulisan ini ya.
Tantangan pembelajaran di masa pandemi menjadi problem yang berkesinambungan. Sinergi antara orangtua, anak, dan guru sangat diperlukan meski KBM via daring. Faktor eksternal dan internal juga berpengaruh pada keberhasilan proses belajar anak. Idealnya, kita menginginkan faktor eksternal yang mendukung seperti aturan yang konsisten, lingkungan yang kondusif, dan pendamping belajar yang interaktif. Itulah ekspektasi. Realitanya, jauh panggang dari api hehe.
Untuk menegakkan aturan memang butuh negosiasi dan membuat kesepakatan dengan anak sehingga didapatkan win win solution. Kita juga bisa memberikan opsi misalnya, mau main dulu atau belajar dulu, dengan disertai konsekuensi atas pilihannya. Dalam menciptakan lingkungan yang kondusif juga butuh seni. Misalnya, ruang kamar yang rapi, bersih, dan nyaman. Anak dalam keadaan sudah mandi, sudah sarapan, shalat duha, dan sebagainya sehingga anak siap untuk belajar. Daan pendamping belajar yang interaktif ini masih menjadi PR bagi saya. Saya ingat kata-kata guru senior saat masih mengajar dulu: children can learn happily in a playful situation. Dibutuhkan rasa gembira, asik, nyaman, dan nggak serius-serius amat belajarnya. Hihi misalnya diselingi tebak-tebakan, sedikit cerita, dll. Oh ya, bu Sukma juga berpesan agar ortu menghindari labelling pada anak, misalnya: “Kak, gitu aja kok nggak bisa sih!”. Masalahnya anak usia 0-12 tahun belum bisa memilih informasi yang masuk, sehingga informasi tersebut masuk ke alam bawah sadarnya dan menjadi sesuatu yang diyakininya. Bisa jadi ‘keyakinan bahwa aku tidak bisa’ itu akan dibawa sampai anak dewasa. Hikss. Astaghfirullah. Semoga kita para orangtua selalu dibimbing-Nya agar nggak terpeleset lisannya.
Selain faktor eksternal di atas, beberapa
faktor internal juga berpengaruh, seperti:
1. Prioritas
Kiranya kita perlu bertanya pada diri
sendiri. Apakah membersamai belajar anak termasuk dalam prioritas dalam
padatnya agenda harian kita? seberapa lama alokasi waktu untuk itu?
2. Moody
Suasana hati yang baik (good mood) sangat diperlukan dalam
menggairahkan spirit belajar anak. Bagaiamana anak mau bergairah belajar, saat
lihat ortunya lagi bad mood. Anak
tentu juga nggak semangat kalau sedang bad
mood, bukan?
3. Demotivasi
Motivasi yang rendah membuat anak
cenderung ogah-ogahan dalam belajar. Tugas orangtua adalah memotivasi anak agar
semangat belajarnya terjaga.
4.
Fixed mindset
Jangan terjebak pada pola pikir tetap
(fixed mindset) yaitu mengunci
pikiran sendiri, misalnya dengan pernyataan “Duh, aku nggak bisa deh!” atau
“Ini susah banget! Rasanya mau nyerah saja!” pernyataan tadi akan menimbulkan
excuse yang menghambat langkah kita. Sebaiknya ubah fixed mindset menjadi growth
mindset yaitu pola pikir yang tumbuh. Growth
mindset membuat perasaan menjadi lebih baik dan merubah tindakan menjadi
lebih baik pula.
Lalu,
bagaimana caranya merubah growth mindset?
Lakukan selftalk. Berbincang/berkomunikasi
kepada diri sendiri tentang apa yang dirasakan. Oh ya, sampaikan juga kepada
anak tentang harapan kita kepada anak.
5. Daya juang yang rendah
Kurangnya motivasi akan pentingnya belajar membuat anak mudah menyerah dalam perjalanan belajarnya. Anak berpuas diri dengan merasa cukup dengan sebuah pencapaian, meskipun belum maksimal.
Parents, kuncinya
adalah bahagia. Ubah mindset, bahwa tugas
tidak sama dengan beban. Tugas
adalah momen kedekatan sehingga sebisa mungkin kondisikan pikiran. Sugesti
dan afirmasi positif terus menerus digaungkan agar kita bahagia. Cara lain
untuk menjadi bahagia, bagaimana?
1. Memilih untuk bahagia yaitu dengan
penerimaan yang tulus.
2. Mencoba flashback ke masa lalu. Siapa tahu ada inner child berupa luka pengasuhan yang masih membekas sehingga
saat menemukan kondisi sekarang yang mirip di masa lalu, emosi itu akan muncul
kembali. Kenali dan kendalikan.
baca juga: Membasuh Luka Pengasuhan
3. Kebahagiaan bukan merupakan hasil kesuksesan
tetapi kunci kesuksesan.
Kata Pak Menteri Nadiem Makariem, well-being atau kesejahteraan psikologis (kebahagiaan) adalah penentu kesuksesan belajar.
Well, kembali ke bahasan awal tentang
memenuhi tanki cinta anak yang disebutkan oleh Pak Gary Chapman tadi. Ada lima bahasa
cinta yang diharapkan mampu mengisi tanki cinta anak, yaitu: Sentuhan fisik (pelukan, ciuman), Hadiah,
Pujian (afirmasi positif dan dukungan), Pelayanan, dan waktu berkualitas. Tujuan
kelima hal tersebut adalah membuat anak merasa dicintai. Namun, perlu diperhatikan
juga apakah bahasa cinta tersebut sudah tepat sasaran atau belum. Kita perlu
menganalisis kecenderungan anak lebih menyukai bahasa cinta yang mana sebab
setiap anak memiliki kebutuhan akan bahasa cinta yang berbeda. Mungkin kita
merasa sudah banyak memberi pujian dan hadiah, tapi seakan tidak berarti. Anak
masih belum ngeh. Belum berpengaruh signifikan terhadap perubahan sikap. Eh,
ternyata setelah ditelisik lebih jauh, dia menginginkan pelukan dan obrolan
misalnya. Ibarat dia lapar ingin makan, kita malah memberinya minum
bergelas-gelas. Hihi.
Lantas, setelah tanki cinta kita dan
anak sudah sama-sama terisi, bagaiamana langkah untuk menggairahkan spirit
belajar anak?
1. Tetapkan Tujuan, misalnya belajar mata
pelajaran bahasa Inggris. Dimulai dari jam 7 sampai jam 8 pagi. Mengerjakan
latihan soal dan tanya jawab.
2. Sepakati aturan. Komunikasikan pada
anak tentang jadwal belajar yang membuatnya nyaman, beserta konsekuensi jika
melanggar aturan.
3. Konsistensi dalam pelaksanaan. Ortunya
harus konsisten juga sebab anak juga menilai seberapa konsisten orangtuanya
dalam mendampinginya belajar.
4. Konsekuensi, beri reward dan penguatan jika anak telah
melakukan tugasnya dengan baik. Sepotong es krim, senyum manis, dan ucapan
‘kamu hebat dan semangat!’ membuat anak bahagia dan termotivasi untuk
mengulanginya kembali.
5. Evaluasi.
Nah, kalau sudah berupaya
untuk melakukan lima poin di atas, ini saatnya bagi orangtua untuk menerapi
diri untuk mengelola emosi. Bu Sukma memberikan tiga tips yaitu:
1. Ikhlas
Menerima kondisi diri apa adanya, beserta segala keterbatasan yang dimiliki. Menerima kondisi anak apa adanya, kurang lebihnya, sebagai karunia dari Allah.
2. Maafkan
Ucapkan pada diri, “Ya Allah, saya maafkan anak saya. Saya terima anak saya apa adanya. Saya ridha padanya.” Ingat selalu bahwa ridha orangtua adalah kunci ridhonya Allah.
3. Pasrah
Ucapkan pada diri “Saya pasrah. Saya tanpa daya tanpa pertolongan dari-Mu ya Allah.”
Dengan terapi selftalk tadi, semoga hati menjadi tenang dan semoga Allah mudahkan untuk mendampingi belajar anak di hari-hari selanjutnya.
Aamiin yaa robbal alamiin.
Patemon, 26 Oktober 2020 21:00
Komentar