Gadis Manis yang Selalu Bersemangat di Hari Jumat
Selama
menekuni dunia literasi, hidup saya dipenuhi kebahagiaan dan kejutan. Saya
bahagia menatap buku-buku saya yang berjajar rapi di rak. Ada beragam kisah di
sana. Perlu waktu belasan tahun untuk mengumpulkan buku-buku tersebut dengan
segenap perjuangannya. Menyisihkan sedikit demi sedikit uang, berburu buku
obral di pameran, dan rajin ikutan giveway.
Itulah salah satu ikhtiar mendapatkan buku-buku favorit. Ketika ada buku-buku
pendatang baru di perpus saya, sesekali saya sortir sebagian untuk dilepas. Bukan.
Bukannya tidak menghargai susah payah mendapatkan buku-buku tersebut, namun
biarlah buku itu memberikan kemanfaatan yang lebih luas di luar sana.
Adakalanya saya juga harus
realistis, bahwa kapasitas rak buku terbatas. Jika terus menambah kuota buku,
namun rak dan ruangan tak cukup menampung, mau ditaruh mana lagi buku-buku itu?
Oleh karena itu, saat ini saya agak mengerem pengeluaran untuk membeli buku
baru. Katanya mau hidup minimalis ala
Rasulullah, sentil pak suami. Saya hanya nyengir dan auto ngeles: kan bukunya umi pinjam-pinjamkan juga. Gak
buat konsumsi sendiri. Haha.
Ngomong-ngomong soal pinjam meminjam
buku, terbesit niat untuk membuat semacam gubug baca di rumah. Sejak akhir
tahun 2013-an saya mulai mengkampanyekan cinta baca. Setiap ada acara pertemuan
wali murid atau pengajian, saya sengaja membawa beberapa buku dari rumah. Saya
tawarkan para emak itu untuk meminjam. Meminjam saja dulu. Perkara dibaca atau
tidak, itu urusan belakangan. Ketika saya tanya tentang isi buku, jawabannya
macam-macam. Ada yang belum sempat membaca sama sekali, belum selesai, dan ada
yang sudah selesai dan ingin meminjam judul buku yang lain. Wow!
Apa yang saya lakukan itu belum ada
seujung kuku dari perjuangan para penggiat literasi di pelosok kampung dimana
buku menjadi barang langka di sana. Ada sesebapak yang rela memodifikasi
motornya sehingga menjadi motor perpus keliling. Ada yang menggelar lapak baca
buku gratis di lapangan. Ada yang membuka taman baca dan rutin mengadakan
kegiatan literasi di dalamnya. Ah, salut dengan ketulusan dan perjuangannya
mencerdaskan anak bangsa.
Saya belum bisa berkontribusi
banyak. Beberapa teman dan tetangga datang ke rumah untuk langganan meminjam
buku. Hal itu sudah membuat saya bahagia. Salah satu peminjam setia di perpus
saya adalah seorang gadis kecil bernama Nayla. Saya memanggilnya Kak Nayla. Ia
adalah teman sekelas Kak Shafa, sulung saya yang duduk di kelas 6. Sejak dulu
ia sudah menunjukkan ketertarikannya pada buku. Setiap ada kerja kelompok di
rumah, ia tampak takjub menatap buku-buku di rak saya. Jika sudah selesai
mengerjakan tugas kelompok, ia memilih satu buku, kemudian duduk tenang di
sudut ruangan sembari menunggu ibunya menjemput. Saya sering memperhatikannya.
Betapa ia bisa sangat menikmati kegiatan membaca, walau seberisik apapun
suasananya. Ia tampak antusias melahap lembar demi lembar halaman buku dengan
serius. Ketika ibunya datang menjemput, ia merasa agak kecewa sebab
kesenangannya terputus. Ia tersenyum riang kala saya meminjamkan buku itu
padanya.
Melihat kecintaan dan minat anaknya yang besar pada buku, Ibu Alif, bundanya kak Nayla ingin putrinya berkembang literasinya. Ibarat sudah dapat input yang banyak dari buku-buku yang dibaca. Akan lebih baik lagi jika diimbangi dengan output berupa karya tulis. Obrol punya obrol, kami sepakat untuk bikin kelas menulis. Saya pun mereka-reka, kira-kira materi menulis apa yang cocok dengan kemampuan anak kelas 6 SD. Saya juga ngobrol sama si sulung. Saya minta pendapat bagaimana seandainya ia dan kak Nayla belajar menulis bersama di rumah. Tanpa disangka, Kak Shafa bersedia. Tentu belajar akan lebih menyenangkan bila bersama teman. Bisa saling bertukar cerita dan saling memotivasi.
Fix.
Jadilah setiap jumat siang, Kak Shafa dan Kak Nayla belajar menulis. Saya
kumpulkan materi dari beberapa sumber lalu saya ringkas. Pada dasarnya, menulis
adalah soal keterampilan. Untuk mencapai level mahir, seorang penulis
membutuhkan jam terbang yang tinggi. Kurang lebih sama seperti berenang,
menyetir, mengendarai sepeda motor, menyanyi, menjahit, dan keterampilan lainnya.
Semakin sering keterampilan itu diasah, maka ibarat pisau, akan semakin tajam.
Semakin sering praktek, maka akan semakin mumpuni. Meski begitu mereka tetap
saya beri teori dan langkah-langkah yang bersifat teknis. Sebab, tanpa ilmu,
langkah akan asal-asalan. Saya mulai dari menggali hal-hal sederhana, membahas
topik-topik yang dekat dengan keseharian anak, ngobrol ringan tentang harapan
hingga mimpi-mimpi mereka. Saya ciptakan suasana santai jadi mereka belajar
dengan rileks. Meskipun hanya dua orang, kegiatannya bisa seru juga. Melihat
semangat mereka, terbesit kepuasan tersendiri di hati.
Kelas hanya berlangsung selama satu jam. Setelah itu
jam bebas. Biasanya mereka mengobrol tentang pr sekolah, tentang teman-teman sekelas,
dan tentang agenda halaqoh. Sembari menunggu dijemput ibunya, Kak Nayla saya
bebaskan untuk memilih sendiri buku yang akan dipinjam. Matanya auto berbinar. Ia
meneliti judul demi judul dan mengambil beberapa buku di rak.
“Lha kok cuma tiga, Kak. Sepuluh juga boleh, kok.”
Saya menukas. Saya ingat bahwa Kak Nayla pernah bilang kalau setiap ia meminjam
buku, adik-adiknya juga ikut bergantian membacanya. Alhamdulillah.
Gadis manis itu meringis malu-malu. Gerakannya
dipercepat saat ibunya sudah tiba untuk menjemput. Ia menunjukkan pada saya
buku-buku yang dipinjamnya. Saya mengangguk. Dengan semangat, ia memasukkan
buku-buku itu hingga tasnya menjadi gendut. Jika dengan peminjam lain, biasanya
saya akan mencatat nama peminjam, judul buku yang dipinjam, tanggal peminjaman
dan kapan harus dikembalikan, di buku catatan saya. Namun, dengan Kak Nayla,
saya modal percaya saja. Lagipula setiap pekan, ia rutin ke rumah untuk
belajar, mengembalikan buku yang selesai dibaca, kemudian meminjam lagi. Jika
tidak karena cinta, maka sulit untuk se-istiqomah itu, bukan?
Sembari menunggu putrinya berkemas, biasanya saya
dan ibu Alif ngobrol sebentar di halaman.
“Kakak itu, tiap habis pinjam buku ke jenengan,
dibaca tekun. Dua- tiga hari selesai membacanya. Kadang sempat-sempatnya dibaca
ulang lagi bukunya. Saya juga heran banget, Bu. Tiap tiba hari Jumat, dia
semangat banget. Selalu memastikan kalau dia mau ke rumah Kak Shafa hari ini,”
ucap Ibu Alif.
Saya tersenyum.
“Dia bilang, aku tuh, Bu. Pokoknya bawaannya
semangat kalau hari Jumat. Soalnya habis lihat buku-buku, rasanya gembira.
Apalagi kalau habis baca buku,” tambahnya lagi.
Maasyaa Allah.
Saya juga ingat. Kalau saya update
status di whatsup tentang buku-buku yang dijual, Kak Nayla selalu melihat
status saya. Sering ibunya memesan buku lewat saya sebab kak Nayla juga ingin membuat
perpustakaan sendiri. Semoga niat baikmu diijabah oleh Allah, ya, Kak.
Di akhir semester satu ini, saya sengaja memberikan
tantangan untuk mereka untuk menulis buku kumpulan puisi duet. Saya ingin agar
mereka termotivasi untuk menulis (sesederhana apapun tulisan itu) dan menimang
karya nyata mereka berupa buku. Alhamdulillah sudah terwujud. Semoga buku
tersebut menjadi kenang-kenangan persahabatan mereka sebelum lulus SD dan juga
menjadi kenang-kenangan untuk sekolah. Aamiin.
Dear Kak Shafa dan Kak Nayla, semoga kalian menjadi
gadis salihah yang selalu haus ilmu. Semoga kalian meneladani bunda Aisyah ra,
sang mercusuar ilmu yang cerdas dan berakhlak mulia. Ingatlah sebuah hadis yang
menyampaikan bahwa barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka akan
Allah mudahkan jalan menuju surga.
Kini kalian sudah lulus SD, sudah tidak lagi satu
sekolah. Kak Nayla mondok di Mojokerto. Sedangkan Kak Shafa di Semarang. Semoga
meski jauh di mata, tetapi dekat di doa. Semoga persahabatan kalian di dunia hingga ke surga.
Aamiin yaa rabbal alamiin.
Komentar
Terima kasih atas semua hal yang telah diberikan untuk kak nayla
Jazakillahu khoiron katsir...
Semua karena Allah.
Saat acara kelas inspirasi di sekolah dulu, saya memilih tulisan mbak Nayla karena memang gaya bahasanya paling bagus di antara teman temannya🥰